ROMANSA SMK: Kereta Senja (Akhir Kisah Romansa)


ROMANSA SMK: Kereta Senja (Akhir Kisah Romansa)

Tak terasa lima tahun berlalu, entah di mana dia berada. Aku berharap bisa bertemu dengannya suatu hari nanti. Mungkin hari itu adalah yang terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Aku merasa menyesal karena menyia-nyiakan hal itu. Sedikit berharap.. bukan, maksudku banyak berharap. Aku berharap bisa bertemu dengannya lagi suatu hari nanti walaupun bukan sekarang.

Pertama kali aku bertemu dengan gadis itu, dia masih mengenakan pakaian putih abu-abu. Aku pikir kami seangkatan. Kuingat badge yang dia pakai berwarna kuning yang menjelaskan bahwa dia kelas dua, aku hanya bisa terdiam menatapnya dari belakang. Imajinasiku terus berbisik, terus memberikan respons positif seolah aku mampu untuk menepuk pundaknya dan berkenalan dengannya.

Teringat aku, pertama kali aku memberanikan diriku untuk berkenalan dengannya. Saat itu sore hari, di bus pulang sekolah. Aku yang awalnya terdiam menunggu dirinya tiba-tiba terkejut karena dia baru saja masuk ke dalam bis dan dia berdiri tepat di sebelahku. Entah mengapa, aku pikir Tuhan memberiku satu kesempatan. Hari itu adalah hari yang sangat langka bagiku. Mungkin hanya akan terjadi sekali dalam seratus tahun. Kisah itu tertulis pada diary-ku di bulan Agustus lima tahun yang lalu.

Memang apa indahnya menyukai seseorang tanpa mendapat balasan dari orang tersebut? Menurutku menyukai seseorang dengan diam-diam itu menyenangkan. Tidak ada yang tersakiti karenanya, dan tidak dapat pula menyakiti orang. Ku pikir ini adalah jarak paling aman antara aku dengan dia. Akan tetapi kesalahan terbesarku adalah ketika aku menyukai seseorang namun aku tidak pernah berkenalan dengannya. Itu tampak terlalu aneh, dan mungkin ini bukan lagi bertepuk sebelah tangan. Mungkin bisa dikatakan menepuk tapi tak sampai.

Bagai kisah sebuah lagu yang dilantunkan band Padi dengan nada tingginya. Kasih tak sampai? Mungkin bukan, aku hanya merasakan cinta pada pandangan pertama. Mungkin tak pantas di sebut cinta, karena yang timbul mungkin hanya perasaan suka saja. Kalau dibilang seperti lagu dari Dewa 19 yang berjudul Pupus mungkin juga tidak. Aku tidak berani melompat sejauh itu jika hanya untuk mengejar hal-hal yang aku sukai. Aku bahkan tidak ingin hubunganku dengan orang lain menjadi buruk akibat perasaan yang timbul mungkin hanya sesaat ini.

Tahun kelima ini sudah berjalan dengan cepat. Rasanya aku masih memendam rasa terhadapnya. Padahal sudah beribu wajah kupandangi, tapi wajahnya tetap awet tanpa formalin di pikiranku. Aku bahkan tidak punya tanda mata untuk kupandangi. Kuingat kembali suara halusnya saat aku berbicara dengannya saat itu. Kubuka kembali buku-buku tulisanku dahulu, bagai membuka pintu masa lalu.. semua aromanya tercium hingga menusuk jantungku. Sedikit demi sedikit hal itu menyiksaku.

Sekarang aku sudah duduk bersama orang-orang yang memanggul beban, mencari uang untuk menafkahi keluarga mereka. Aku duduk bersama mereka saat kami sedang istirahat, satu persatu berita gembira mereka kabarkan. Aku hanya duduk tersenyum dan masih memikirkan jalan setelah ini. Apakah aku terlalu egois untuk bertemu dengannya? Atau aku memang punya tanggungan sehingga aku sampai sekarang tidak pernah melupakannya. Namanya sering aku gaungkan selama 3 tahun saat SMK, mungkin dari situlah sumber segala masalah yang aku buat sendiri.

Teringatku pada bulan Agustus tahun ini, aku melihat seorang perempuan tampak mengendarai motor dengan mengenakan jaket berwarna putih. Aku pun secara refleks langsung mengingat gadis yang sering aku lihat dulu yang mengenakan jaket dengan warna yang sama. Pikiranku langsung terus membuat perkiraan seperti seorang cenayang. Mungkin keberuntunganku ada di bulan Agustus, pikirku.

Aku pun mencoba mendekatinya, kutancap gas kencang. Motorku melaju hingga berada di depannya. Kulihat parasnya dari kaca spion. Dia? Benarkah dia? Aku pun sedikit memelankan kecepatanku. Tampak sebuah nametag menggantung.. tak bisa kubaca namanya. Namun aku bisa melihat tempat dia kerja. Yah.. aku tahu di mana dia bekerja. Yang pasti, dia masih di kota ini.

Mungkin ini hari keberuntunganku, tidak.. mungkin hanya kebetulan. Aku pun mencoba mencari dirinya kembali di jam yang sama. Tak tampak sedikit pun sehelai rambut halusnya. Aku pun tak kunjung diam. Aku coba mencarinya lewat jam berangkat kerja. Tak kusangka pada tanggal 7 Agustus, aku melihatnya. Kisah itu aku tuliskan pada buku harianku. Dia sampai di persimpangan kota jam 7.12 Pagi. Inginku buntuti dia hingga ke tempat kerjanya, tapi aku pun juga ingin berangkat kerja. Mungkin aku akan bertemu lagi dengannya di perjalanan pulang, pikirku.

Keberuntungan tidak ada bersamaku, aku sama sekali tidak melihatnya hari itu. Aku merasa kalau saat itu aku melamun sehingga pikiranku ke mana-mana. Sesampainya di rumah, kubaca kembali buku harian lamaku itu. Aku sangat berharap bisa berkenalan dengannya, bertemu dengannya walau hanya beberapa detik saja. Saling bertatapan mata, seperti seorang yang kenal satu sama lain. Inginku larut dalam perasaan suka ini. Aku pun ingin tahu akhir dari kisah romansa ini. Kisah ini bagai tiada akhir, aku tak lagi SMK. Namun aku masih tidak bisa mengalihkan pikiranku dengan hal yang baru. Dirinya terus ada dalam pikiranku seperti kerikil yang telah tercampur dengan beton. Semuanya tampak selaras, tampak tak berbeda, kenangan yang cukup membingungkan untukku.

Teringatku pada tanggal 9 Agustus sore hari, aku dalam perjalanan pulang dari kantor sekitar pukul 4 sore. Saat itu aku sudah tidak lagi ingin berpikir tentang dirinya. Aku berhenti sejenak di pameran seni tengah kota dengan harapan bisa mengalihkan perasaanku yang tidak jelas ini. Sendiri aku berjalan-jalan di sana bagai orang yang sedang mencari anaknya. Pikiranku terombang-ambing entah ke mana.

Aku berhenti sejenak untuk duduk di kursi tepat di depan sebuah lukisan abstrak dengan corak yang lumayan bagus. Aku pun mengambil ponsel dari sakuku, kubuka kuncinya lalu aku geser-geser seperti orang yang tak punya tujuan hidup. Aku pun membuka kamera, berencana untuk memfoto lukisan indah di depanku. Saat aku mulai mengetuk tombol shutter-nya, seketika ada orang berjalan perlahan mendekati lukisan yang aku foto itu.

“Gadis itu.. aku yakin itu adalah dia. Ya.. dia ada di sini.” Bisik hatiku. Aku hanya bisa membayangkan wajah depannya. Tampak dari belakang rambutnya yang terurai panjang dengan baju putih hitam yang dia pakai. Seperti seseorang yang baru saja masuk kerja. Gadis itu pun menoleh ke belakang, mungkin dia ingin duduk. Kursi yang aku duduki ini memang cukup panjang, kira-kira bisa di duduki oleh 5 orang. Gadis itu pun perlahan duduk agak jauh dariku, dia ada di sisi kursi yang lain.

Aku pun melihat parasnya, kuingat kembali wajah sampingnya itu. Sepertinya sama, aku bisa melihat frame kacamata yang sama. Tingginya mungkin tidak berubah jauh, tangannya yang kecil itu mengingatkanku saat dulu ketika dia masih menjinjing tas yang berisi buku. Tasnya pun sepertinya masih sama. Tas dengan warna cokelat dengan gambar kucing. Seketika jantungku berdegup kencang. Aku tidak ingin tinggal diam.

Perlahan aku berdiri dari tempatku duduk dan berjalan perlahan mendekatinya. Aku pun tepat berdiri di hadapannya. Entah apa yang aku pikirkan, aku mungkin tampak seperti seorang penjahat.. mungkin pencopet. Gadis itu pun mendongakkan wajahnya dan melihatku.

Degupan jantungku semakin kencang, “Eh.. “ aku latah terkaget saat dia melihatku.

“Ada apa?” Tampak dia mengerutkan dahinya seperti orang bingung.

“Emm... kamu.. Nabilla?” Tanyaku gugup.

“Eh... kamu kenal? Kita pernah ketemu?”

“Lima tahun lalu, waktu..”

“Oh... iya... iya. Kamu pasti... eh..,” dia berusaha mengingat namaku, “Anton kan?”

“Iya.. ha ha, ternyata masih inget.”

“Kamu kok ada di sini? Suka lukisan-lukisan juga?”

“Ya... nggak Cuma lukisan sih. Ya.. pokoknya aku suka kalo ke acara pameran-pameran gitu.”

“Oh..”

“Kebetulan banget ya.” Ucapku dengan senyum kecil, “ngomong-ngomong kamu lagi sibuk apa?”

“Ya.. biasalah kerjaan. Eh, tahun depan aku tunangan. Mungkin kamu mau dateng.” Ucapnya dengan ekspresi yang tampak sangat gembira bagiku.

“Ah... boleh tuh. Tapi..”

“Nomormu berapa? Nanti aku hubungi..”

Hari itu aku merasa sakit di bagian dada. Apakah aku sesak nafas? Atau aku kena serangan jantung? Atau mungkin inilah yang namanya sakit hati. Terlalu singkat pertemuan kita, aku pun tak bisa melawan takdir Tuhan. Siapa aku? Mungkin memang benar, Tuhan Maha Adil. Aku tetap bahagia jika melihatmu bahagia. Semoga aku bisa menemukan orang yang tak pernah bisa aku lupakan lagi sepertimu suatu saat nanti. Salamku untuk kalian yang sering merasakan sakit hati, kuatkan hati... selalu berdoa pada Tuhanmu. Salamku juga untuk semua kisah romansa di SMK. Kenangan yang tak akan pernah mungkin dapat dilupakan.

Komentar

Posting Komentar

Tulis komentar kamu tentang posting ini !

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Judul Eps. 2 (Ini Nyata !)

Not Only in The Games (?) - Eps. 1 (Perempuan Misterius)

Hanya Karya