Andai Aku Kamu (Bedakah Kita?)
Andai Aku Kamu
"Bedakah Kita?"
Tidak terlalu
pintar, tidak terlalu tahu, dan tidak perah bisa berubah. Itulah
sebutan-sebutan yang sering dilontarkan temanku kepadaku. Mereka tidak tahu
kala sebenarnya, aku sudah berusaha. Aku berusaha untuk berubah. Mungkin hanya
Lia yang mengerti keadaanku sekarang. Sering kali aku putus asa dan saat itu
pula Lia mencoba menenangkanku. Dia terus membantuku untuk berubah. Aku ingin
membuktikan kepada teman-temanku kalau aku ini bukannya tidak pintar, tapi
belum pintar. Yah.. Belum.
Pagi itu
sekolah mengadakan upcara bendera. Aku sudah siap sebelum teman-temanku berada
di lapangan ini. Aku menunggu di belakang. Beberapa saat
kemudian, anak-anak sekolah semuanya mulai berdatangan. Aku mulai berjalan dan
berdiri di barisan paling belakang. Saat mereka melihatku di belakang, Amir
menarik bajuku yang membuat aku terbanting ke bawah.
"Udah
berani di belakang ya? Sana maju." Ucapnya dengan nada teriak
Aku berjalan ke
depan. Tidak tanggung-tanggung, aku berada di barisan paling depan. Padahal
mereka juga tahu, aku paling tidak kuat jika berdiri di depan. Apa boleh buat,
aku melakukannya. Upacara dimulai,matahari semakin naik. Entah berapa menit,
pandanganku mulai kabur. Semua yang aku lihat seperti tertutup sinar yang cerah.
Semakin banyak, semakin banyak, dan akhirnya menghitam.
Aku mulai
melihat sesuatu, tidak.. Aku berada di lantai atas sedang memandangi upacara
bersama seseorang. Dia mulai berbicara.
"Nak, aku
juga pernah berdiri di antara mereka."
"Apa? Pak,
kok saya bisa di sini? Tadi kan saya lagi upacara.?" Ucapku sambil
kebingungan.
"Ha ha
ha.. Kamu aneh." Jawabnya sambil tertawa.
"Kenapa
sih pak? Bapak siapa sih? Kayaknya belum pernah lihat?" Aku masih
kebingungan.
"Gak perlu
tahu siapa aku. Kamu mau bisa berubah?"
Aku mengangguk.
"Kamu
harus bisa tenangin ini..." Ia menunjuk hatiku. "...dan kamu harus
lebih cerdas. Cerdas ya, bukan pintar." Sambil memegang kepalaku.
"Gitu ya
pak? Nanti aku coba deh."
"Sabar dan
optimis. Jadilah orang yang cerdas."
"Ya!"
Sahutku sambil tersenyum.
Seketika
semuanya seolah menjadi putih lagi dan kembali hitam. Aku merasakan tubuhku
bergerak. Seketika aku langsung membuka mata dan mengangkat tubuhku. Semua
orang di ruangan ini kaget dan melihatku dengan aneh. Ternyata aku sedang
dikenakan alat bantu pernapasan, aku melepasnya. Mereka mencoba menghentikanku,
"Jangan dulu." Aku tetep melepasnya. Aku mulai bertanya kepada
mereka.
"Ada apa
tadi?"
"Tadi kamu
pingsan, terus kami cek detak jantungmu. Detakannya melemah, kami coba beberapa
cara. Akhirnya kami pake'in alat itu deh." Jawab seorang petugas UKS
"Upacaranya
udah selesai?"
"Udah. Ya
udah, kalau emang mau ke kelas gak papa"
"Ya,
makasih. Maaf udah ngerepotin."
"Iya."
Aku berjalan ke
kelasku dengan lambat. Sesampainya di kelas, aku langsung melihat ke arah
teman-teman. Aku kaget, tempat dudukku dipindah ke depan. Aku mengacuhkannya,
apa boleh buat. Tiba-tiba seseorang berkata pelan, "Biar pinter duduk
depan." Beberapa yang lain malah tertawa. Baru saja aku duduk, seorang
guru masuk ke kelas dan memulai pelajaran. Saat bel istirahat dimulai, hampir seisi kelas meninggalkan kelas ini. Lia mencoba memanggilku,
"Dion." Aku menoleh ke adahnya dan menyahutnya, "Ada apa?".
Dia kembali bertanya, "Kamu gak istirahat?" Aku menjawabnya,
"Ah, gak ah. Udahlah kamu istirahat aja." Dia hanya mengerutkan
dahinya dan langsung pergi meninggalkanku. Aku hanya tersenyum melihatnya.
Gerombolan Amir masuk ke
kelas. Kelas pun terdengar jelas sampai ke luar ruangan. Aku mencoba menyuruh mereka diam dengan berkata, “Shhhttt..” Mereka semua
diam kecuali Amir, wajahnya memerah dan matanya melotot. Dia berteriak.
“Kok bisa ada orang bodoh masuk sekolah ini ya?”
Seisi kelas
terdiam.
Aku langsung
terkaget. Aku menggebrak meja, berdiri dan berteriak,
“Aaahh!” Semua orang di dalam kelas terdiam, kelas terdengar hening. Aku
berjalan keluar dan anak-anak yang mengejeknya langsung tertawa. Sempat aku terdiam di luar. Aku ingat kata-kata seseorang tadi saat aku
tak sadarkan diri. Aku mencoba meredam emosiku. Aku melihat guru Bahasa Indonesia sedang berjalan mendekatiku,
ia berbicara padaku dan aku menceritakan semuanya. Aku dan guru itu masuk ke
dalam kelas. Aku melihat Amir menatap ke arahku sambil memperlihatkan senyum yang mencurigakan. Saat
pelajaran selesai, Lia berjalan ke arahku. Ia duduk di sebelahku
dan memanggilku.
“Yon, kamu tadi kenapa
sih?”
“Gak papa kok. Maaf ya,
udah bikin kalian gak enak gara-gara aku.”
“Gak enak gimana sih?”
Tanya Lia dengan bingungan dan tawa kecil
“Yah.. Aku jadi beban gitu di kelas ini.”
“Yaelah, beban apa lagi
sih? Udah. Jangan peduliin kata mereka. Kalau kamu emang butuh bantuan, bilang
ke aku aja. Ya.. ya..?”
Gerombolan Amir kembali
mendekatiku. Sepertinya mereka belum puas mengejekku tadi.
“Lia! Kamu, ngapain di situ? Ntar ketularan bodoh.” Ucap Amir dengan nada keras
“Iya, ngapain
coba? Udah tinggalin aja...” Sahut temannya dengan nada mengejek
“Udah! Emangnya
belum cukup ejekan kalian, tadi! Jangan beda-bedain kita.” Teriak Lia
Mereka terdiam,
Aku
itu berdiri dari tempat dudukku dan memegang pundak Lia. Lia menoleh ke arahku, aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku berjalan ke samping Lia dan menatap ke arah Amir.
“Kalian,
terutama Amir. Apa gunanya ngejek aku? Itu juga gak ngaruh ke aku sekarang. Tapi
ingat.. Aku bukannya bodoh, bukannya gak pinter. Bukannya gak bisa pinter, tapi
emang belum bisa.”
"Kalo emang goblok ya goblok, gak akan bisa berubah. Aku gak pernah mau
punya temen goblok kayak kamu.” Teriak Amir
“Ya udah, kenapa kamu mau ngurusin aku? Kamu
kepengen aku pinter kan? Atau kamu kepengen aku tetep goblok.. gitu? Katanya
gak kepengen punya temen goblok?”
Semua anak terlihat diam. Aku kira mereka diam karena pembicaraan
kami, ternyata tidak. Aku kaget saat melihat guru tadi masuk kembali ke kelas
ini. Aku kira tadi dia sudah pergi. Guru itu terdiam dengan
wajah tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Saat melihat agak lama, Ia mengerutkan
dahinya. Aku menghadapkan tubuhku
ke arahnya dan menundukkan wajahku. Guru itu menyuruh Aku,
Lia, dan Gerombolan Amir untuk berdiri di sampingnya.
“Anak-anak, jangan membeda-bedakan teman
kita. Kalau ada teman kalian yang belum bisa ya diajari. Kepintaran itu bisa
dimiliki semua orang, tapi teman.. susah.” Ucap Guru itu
Semua anak terlihat murung menatap ke bawah. Guru itu sempat menyuruh kami untuk saling meminta maaf, tapi Amir hendak
menolaknya dan berkata, “Itu urusanku.” Aku hanya terdiam. Amir terlihat pergi
entah kemana. Gerombolan yang bersama dengan Amir terlihat meminta maaf
kepadaku. Aku hanya berkata, “Aku sudah memaafkan kalian semua.” Mereka juga
berkata padaku kalau sebenarnya mereka tidak mau ikut-ikut masalah ini, tapi
mereka takut kepada Amir. Guru itu hanya tersenyum dan mengingatkan kembali
kata-katanya tadi lalu meninggalkan kami. Aku tidak tahu apakah amir masih akan
mengejekku atau tidak, itu bukan lagi urusanku. Aku akan fokus belajar agar aku
bisa berubah menjadi lebih baik dari yang sekarang. Mungkin bukan menjadi orang
yang pintar tapi orang yang cerdas juga sabar.
Ø “Kepintaran bisa dimiliki setiap orang, tapi
teman... ?” -#AditDC
Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar kamu tentang posting ini !