Romansa SMK: Tangis yang Tak Berujung (Bagian 2)
Salam Blogger, aku mendapat sedikit kendala dalam menulis. Kisah aku skip-skip gak jelas, bukan karena tidak ingin cerita namun karena imajinasinya udah putus. Gak tahu kenapa, mungkin akan aku reset dulu otakku. Jika ada salah aku minta maaf, apalagi ada kesamaan cerita. Segala yang aku tulis dari kisahku di episode 1 sampai yang ini, aku tulis secara fiksi. Beda bro.. beda 80%. Sekali lagi, aku minta maaf. Selamat membaca kisahku yang terakhir ini. Jangan sampai ada yang merasakan yang aku rasakan.. Sakit. Terima Kasih.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kisah Aditya DC: Cinta Sang Percikan Api (Kisah Terakhir)
Saat itu udara panas menerjang sekolah, rumput-rumput
mengering. Hujan tak tampak di sini, bukan dihatiku yang selalu hujan. Sekolah
seperti kekeringan air, beberapa orang antre untuk bersuci. Kabar-kabar
beterbangan, tak punya mata, tak punya kaki, juga tak punya sayap. Aku duduk di
depan jurusan. Gelap, kirana mentari tertutup dedaunan pohon. Saat itu aku
menutup pintu hatiku, kacau hatiku. Jika ingin dibayangkan, hatiku seperti
sebuah pelangi yang warnanya teracak-acak dilangit. Perasaan menyesal dari
tahun sebelumnya itu buatku membatasi diriku dari perasaan yang lebih dari
suka. Kebanyakan orang menyamakan arti suka dan cinta yang jelas-jelas berbeda.
Angin berembus kencang, aku menutup mataku seraya merasakan
sentuhannya. Aku melihat seorang perempuan, dia cantik, rambutnya digerai
panjang, dia duduk sendiri di bawah pepohonan rindang di dekat jurusanku ini.
Aku tahu dia, dia bernama Linda Safira. Aku dengar-dengar dia sering dipanggil
Lisa, diambil dari dua huruf depan dari nama awal dan nama akhirnya karena
teman sekelasnya ada pula yang bernama Linda. Aku hanya memandanginya dari jauh
dan mencari satu kesempatan di sana.
Romansa SMK: Tangis yang Tak Berujung
(Kisah Aditya DC: Cinta Sang Percikan Api)
Pagi memang dingin aku berangkat sangat awal, bukan untuk
mencari kursi terbelakang. Aku pikir kalau berangkat awal, aku bisa istirahat
sejenak di kelas. Saat itu aku sudah kelas 12. Setiap hari pikiranku selalu pada
perempuan itu, aku menyia-nyiakan kesempatan. Padahal saat itu dia sedang duduk
sendirian, aku ingin sekali berkenalan dengannya. Aku duduk dengan menyandarkan
kepalaku di dinding. Mejaku berada di paling kanan ke-3 dari depan. Seorang
temanku datang, dia duduk tepat di sebelah kiriku.
“Kenapa kamu?”
“Gak papa.” Aku mengubah posisi dudukku ke arahnya, “Win,
pernah gak kamu suka sama orang?”
“Pernah lah. Kalau gak pernah, kenapa aku bisa punya pacar?”
“Eh iya ya. Deketinnya gimana?”
“Deketin ya tinggal deketin. Pelan-pelan tapi deketinnya.
Siapa dia?”
“Ada deh..”
“Emang udah kenal dia?”
“Belum.”
“Ha ha ha. Kebiasan kamu.”
Sering di sekolah aku berpapasan dengannya, namun aku masih
ragu untuk berbicara dengannya. Aku selalu mengurungkan niatku untuk berbicara
dengannya. Sampai saat sepulang sekolah, aku berjalan sendirian ke luar
sekolah. Aku berjalan cukup cepat sampai aku melihat dirinya tepat di depanku.
Dia berjalan pelan, aku pun langsung bergegas mendekatinya. “Haa..” sapaanku
terhenti saat seorang temannya datang berjalan di sampingnya. Aku berhenti
berjalan sambil menatap dirinya berjalan menjauh. Aku pun menyeberang jalan
untuk sampai ke halte seberang. Aku berdiri di sana sambil menundukkan kepala.
Tak terasa satu halte lagi aku turun, akupun mendongakkan wajahku. Saat bis
hampir berhenti, aku melihat perempuan itu lagi. Ternyata dia searah denganku.
Tidak mungkin aku menyapanya di sini. Saat dia turun rambutnya terkibas oleh
angin, diapun menutup matanya. Mataku terpaku ke arahnya, dia terlihat cantik.
Bis pun berjalan melewatinya.
Aku turun tepat di halte pemberhentian terakhir. Aku berjalan
dari sana sampai ke rumahku, jaraknya sekitar 1 Km. Sambil berjalan aku terus
terbayang akan wajahnya. Walaupun banyak perempuan yang aku sukai, namun aku
merasa dia sedikit berbeda dengan yang lain. Aku merasa ingin sekali dekat
dengannya. Aku ingin sekali melupakan masa laluku dengan cara dekat dengan
seseorang lagi.. sekali lagi.
Sesampainya di rumah, aku duduk terdiam melamun. Aku
mengambil secarik kertas, aku pikir aku ingin sekali melukis wajahnya. Saat aku
mencobanya, aku tidak bisa. Aku mengambil sebuah buku yang berisi beberapa
kerangka cerita untuk cerpenku. Aku menuliskan kisahku di lembaran baru.
“Hatiku bergetar saat dia berada di depanku, ingin sekali aku menyapanya,
memanggilnya, namun aku tetap tak bisa...” tulisku dalam lembaran itu. Aku
menutup buku itu dan menaruhnya di meja belajarku. Aku berbaring di atas
kasurku dengan tangan bersedekap. Aku tersenyum sendiri dan terus berkhayal bisa
berbicara dengannya. Perlahan kesadaranku hilang, aku tertidur di kasur itu
saat senja.
Esok harinya, aku kembali berangkat awal. Aku kaget saat aku
berada satu bis dengannya. Aku pikir kalau ini adalah saat yang tepat. Aku
menunggu bis ini sampai ke sekolah. Terus menerus aku menggerakkan kakiku dan
memainkan bibirku. Bispun berhenti, aku lekas keluar terlebih dahulu. Aku pun
berjalan pelan sambil melihat-lihat di mana dia. Saat aku melihat dia berjalan
melewatiku, aku berjalan agak cepat. Saat sampai tepat di sampingnya, seorang
temannya kembali menyapanya. Gerakkan kakiku melambat melihat itu.
“Huuuhh..” aku membuang nafas sambil melirik ke kiri
Entah mengapa selalu gagal. Aku berjalan dengan menundukkan
kepalaku sampai ke kelas. Ternyata aku bukan lagi yang datang paling awal, aku
duduk di kursi yang seperti biasanya. Aku pun beristirahat sejenak di sana.
Semakin lama kelas semakin ramai, terdengar cukup keras memecah keheningan
sebelumnya. Aku terbangun sambil mengedipkan mata beberapa kali. Akupun berjalan
ke luar kelas untuk cuci muka. Beberapa kali aku membasuh wajahku. Aku pun
menatap wajahku di cermin tepat di depan wastafel. Seseorang masuk ke dalam
kamar mandi, akupun langsung keluar dari sana. Detakkan jantungku seakan
berhenti sejenak saat aku kembali melihat dirinya berjalan sendirian dengan
membawa beberapa buku. Dia pasti sehabis dari Ruang Guru MPDU. Aku pun
pura-pura berjalan ke arah kebalikannya agar berpapasan dengannya. Saat hampir
sampai aku berhenti berjalan. Dia pun menoleh ke arahku.
“Eh.. Li..” ucapku dengan ragu-ragu
“Eh iya, aku ya?”
“Mungkin, eh.. kamu abis dari ruang MPDU ya?”
“Iya kenapa?”
“Itu.. Bu Nur ada?”
“Kayaknya sih ada, tapi tadi masih duduk gitu.. nyiapin buku
kali.”
“Oh gitu ya..”
“Ya udah, aku duluan.”
“Eh.. kamu.” Panggilku
“Iya ada apa lagi?”
“Nama kamu? Siapa namamu?”
“Tadi bisa manggil. Pura-pura gak tahu ya.”
“Eh, maaf. Kenalin, aku Adit, Aditya Dwi Cahyo. Jurusan
Listrik.”
“Aku Linda Safira, jurusan Gambar Bangunan.”
“Wow, ya udah. Makasih ya.”
“Iya.” Ucapnya sambil tersenyum padaku.
Jantungku berdegup cepat, aku berharap bisa berbicara
dengannya lagi. Sampai di kelas aku terus terbayang akan suara dan wajahnya.
Aku sangat bersemangat belajar sekali saat itu. Saat istirahat, aku membuka
smartphone-ku dan mencarinya di jejaring sosial. Aku mencoba mengirimnya chat
lewat media sosial.
“Hai.” Tulisku dalam chat
Mungkin membutuhkan waktu cukup lama untuk menunggu
balasannya. Aku menutup hp-ku dan membuka lembaran kosong pada bukuku. Aku
menggambar apapun yang ada di dalam pikiranku. Aku merangkai sebuah kisah
cinta, bukan kisah patah hati lagi. Aku pikir kali ini aku bisa mendapatkan
hatinya. Tidak.. maksudku aku harus bisa mendapatkannya.
Sepulang sekolah, seperti biasanya aku berjalan sendirian
keluar dari sekolah. Kembali aku melihat dirinya. Kali ini aku menyapanya.
“Hai Lin.”
“Eh, ada apa dit?”
“Sendirain aja?”
“Iya nih. Ha ha. Biasanya sih ada temenku.”
“Aku belum jadi temenmu ya?”
“Eh.. apaan sih? Maksudnya apa niiihh?”
“Gak papa, ngomong-ngomong.. jalan pulang kita searah lo.”
“Masa sih? Kok bisa? Semarang Timur?”
“Iya lah. Mana lagi coba? Itu Fb-mu aktif gak sih”
“Oh.. itu udah mati. Kenapa emangnya?”
“Gak apa. Tanya doang, boleeeh itu..”
“Apa? Itu apa?”
“Minta nomormu.”
“Jangan ah..”
“Kenapa? Gak aku jual kok.”
“Idih.. ha ha ha. Suka ngelawak kamu ya.”
“Makanya kenapa?”
“Line aja.”
“Iya deh..” ucapku, dia pun memberikan id-nya.
“Ngomong-ngomong, kamu kelas berapa sih?”
“Baru kelas 12.”
“Eh.. maaf mas, gak sopan aku ya dari tadi.”
“Gak papa. Panggil biasa aja.”
“Gak enak, lagian ini hari kamis sih pakai batik. Jadinya aku
gak bisa lihat kelasnya.”
“Kamu lucu.”
Aku tersenyum menatapnya, kami pun berhenti di halte. Seorang
temannya ternyata ada di halte itu. Aku terdiam menatapnya dari belakang. Aku
mengambil ponselku dari sakuku. Aku mencoba mengirim chat kepadanya, “Hai.
Makasih.” Tulisku dalam chat. Sepulang dari sana dia membalas chatku. Kami
mengobrol macam-macam, entah apa aku sudah lupa.
“Mas, aku baca blogmu lo.” Tulisnya dalam chat
“Apa? Blog? Kok bisa tahu?”
“Iya lah, kan kamu tulis di bio instagrammu.”
“Oh.. iya ya. Waduh, jangan dibaca.”
“Kenapa, bagus kok. Cuma.. kisahnya sedih semua.”
“Iya.. ha ha ha. Kamu suka genre apa?”
“Apa ya, kayak film ‘Harry Potter’ gitu.”
“Oh.. fantasi ya? Kebetulan aku pengen banget buat novelnya.”
“Gitu ya.”
“Kamu udah baca ‘Secret Ano’ ?”
“Belum, di blogmu? Kisahnya kayak gimana?”
“Ya, Itu tentang OSIS sekolah yang kasih kejutan ke
teman-temannya. Genrenya Thriller tapi.”
“Kapan-kapan aku coba baca.”
“Suka baca ya? Jangan-jangan kamu nulis juga.”
“Suka, aku nulis dikit.”
Setelah mengetahui itu, kembali aku mengecek dirinya di
internet, ternyata dia juga menulis namun bukan lewat blog. Aku membaca tiap
lembaran yang dia tulis, dia sungguh cerdas. Aku pikir kalau dia sangat suka
membaca, dia mampu menerapkan semuanya di tulisannya. Padahal dia baru kelas
10, aku kagum dengan kegemarannya. Sejak saat itu aku belajar semua ilmu untuk
menulis novel fantasi yang aku ucapkan padanya. Aku merasa kalau dia sedikit
berada di depanku, namun aku ingin sekali berada jauh di depannya.
Hari demi hari terlewati, semakin lama aku semakin dekat
dengannya. Dia pun terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Entah mengapa jika
melihatku secara tiba-tiba dia selalu terlihat aneh. Aku berpikiran positif,
“Gak mungkin ah, gak mungkin dia salah tingkah.” Bisikku. Saat itu aku berada
di jurusan lantai 2. Aku duduk di tangga seraya merasakan belaian angin. Seorang
temanku berdiri di belakangku, dia menatap ke bawah dan masuk kembali ke kelas.
Aku menghela nafas panjang, tak beberapa lama aku melihatnya lewat dekat sini. Aku
berdiri dari dudukku dan memegang pembatas pada tangga seraya memandangnya
berjalan. Seorang temanku berjalan keluar kembali, dia berdiri di sebelahku.
“Dia? Jadi dia ya?”
“Apa maksudnya? Ada apa tiba-tiba ngomong gitu.”
“Kamu suka dia? Ya kan? Pantesan sekarang kebanyakan melamun,
kurang fokus.”
“Ah.. kamu salah lihat kali.”
“Heh.. gimana responsnya ke kamu?”
“Dia? Dia tiap ngelihat aku itu agak aneh, langsung pergi
gitu.”
“Wah.. wah.. itu ada dua kemungkinan. Itu tanda kalau dia
suka sama kamu atau.. dia jijik sama kamu.”
“Idih.. bisa-bisanya. Tapi tiap aku chat sama dia, enak-enak
aja.”
“Suka mungkin. Yah.. langsung tembak aja. Bentar lagi kan UN,
nanti kamu malah gak fokus UN kalau kamu masih gantung perasaanmu.”
“Mungkin.. aku coba.”
“Nah.. gitu dong. Itu baru laki-laki.”
Setelah diyakinkan temanku, aku merasa seperti ada sesuatu
yang mendorongku cukup kuat untuk mengungkapkan isi hatiku. Namun tiap aku
berbicara dengannya, ngomong suka saja terasa sulit apalagi mengucapkan kata “pacar”
itu sangat berat untukku ucapkan. Walau aku tidak berkata “Aku berjanji” pada
temanku tadi, namun setiap kata yang terucap mulutku itu akan selalu aku
tepati. Aku mencoba meyakinkan diriku seyakin mungkin hingga aku bisa
menentukan waktu yang tepat untuk mengungkapkannya.
Semakin hari aku semakin yakin, aku mencoba mengucapkan kata
itu namun aku tetap mencari waktu yang pas. Saat itu aku mengajaknya untuk
pulang bersamaku dengan alasan ingin bertanya sesuatu. Seperti biasanya, kami menaiki
bis dan saling bercanda gurau. Sampai tepat pada saat dia sampai di haltenya,
aku ikut turun di sana. Dia kaget sambil menatap ke arahku.
“Hah? Kamu kan masih di sana.” Ucapnya pelan sambil menunjuk
ke arah halte terakhir
“Aku sebenarnya mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Apa? Kok tiba-tiba gitu?”
Suasana saat itu tiba-tiba menjadi hening bagai tak ada suara
apapun kecuali angin.
“Aku.. aku suka kamu.” Berat sekali lidah ini mengucapkan
kata itu
“Apa sih, kamu udah berkali-kali ngomongin itu ke aku.” Ucapnya
sambil tersenyum
“Kamu gak.. jawab gitu?”
“Jawab apa? Itu kan bukan pertanyaan.”
“Apa harus aku tanya?”
“Iya lah, tanya aja.”
“Kamu.. Ehm.. Kamu mau gak jadi pacarku?”
Seketika ekspresinya berubah, dia terdiam dan berjalan turun
dari halte. Aku mencoba memanggilnya beberapa kali namun dia enggan menoleh. Aku
berjalan turun ke arahnya dan memegang tangannya.
“Hei.. aku kan udah tanya. Masa gak dijawab?”
“Apa harus sekarang jawabnya?”
“Iya.. terserah sih. Aku cuma gak mau penasaran aja. Misal kamu
gak mau ya bilang gak.”
Dia melepaskan pegangan tanganku.
“Ya kamu maunya apa?” tanya dia kepadaku
“Eh.. kok malah aku? Kamu yang jawablah. Kalo aku yang jawab
sama aja bohong.”
“Ya..” Ucapnya sangat pelan dan tertutup oleh suara kendaraan
Dia kembali berjalan sambil tersenyum.
“Linda, tadi kamu bilang apa?”
“Iyaaa..”
“Beneran? Kok bisa, ada alasannya?”
“Iya.. memangnya.. cinta itu.. harus ada alasannya ya?”
“Kok gitu, ya udah makasih ya.”
Dia berjalan sendirian ke arahnya pulang. Aku pun berjalan ke
jalan pulangku walau cukup jauh dari tempat itu. Entah mengapa aku tidak tahu
apa yang aku rasakan, apakah ini rasa senang atau rasa apa. Aku bingung dengan
perasaanku sendiri. Namun sejak saat itu aku tidak khawatir lagi, aku merasa
aku sudah bisa fokus UN. Setelah aku lalui ternyata tidak, saat aku sedang
merasakan cinta aku melupakan semuanya. Aku tidak bisa fokus, dia terus menerus
menyuruhku untuk fokus, tapi aku tak bisa.
Kisahku tidak berhenti di sana, setelah berjalan hampir
sebulan atau mungkin lebih sebulan aku lupa. Dia sedikit aneh denganku, seperti
sedang menghindariku. Saat itu tidak sengaja aku berpapasan dengannya.
“Linda!” Panggilku
“Ada apa mas?”
“Mas ya.” Ucapku dalam hati, “Kayaknya aku gak jadi magang di
Jogja deh. Aku tetap di Semarang.” Ucapku sambil tersenyum padanya
“Kenapa?”
“Biar aku bisa ketemu kamu lagi.”
“Kenapa? Kalo kamu kepengen ke sana ya ke sana aja. Ngapain
gak jadi segala.” Nada bicaranya seakan berubah
“Loh.. Kamu kenapa?” tanyaku dengan bingung
“Gak papa.” Ucapnya sambil membuang pandangannya
“Kamu kok.. berubah.”
“Berubah apa? Kalau itu mau kamu ya udah.. terserahlah.” Nada
bicaranya menjadi tinggi
“Kamu kenapa sih? Ada
apa? Ada masalah apa?” Aku mencoba menenangkannya
Dia terdiam, pandangannya menjadi menunduk ke bawah.
“Maaf mas, mungkin.. kita temenan aja.”
“Apa?” ucapku dengan kaget
Detakkan jantungku tiba-tiba terasa seperti terhenti, untuk
yang kedua kalinya aku merasakan rasa sakit seperti itu. Namun sepertinya yang
ini lebih menyakitkan dari pada sebelumnya. Aku mencoba menutupi perasaanku.
“Emm.. ya udah gak papa. Kita kan emang udah temanan dari
dulu.”
“Makasih.” Dia langsung pergi meninggalkanku.
Tanganku langsung memegang dada kiriku, aku menyeringai
kesakitan. Aku berjalan kembali ke kelasku. Tetap rasanya akan sangat berbeda
dengan sebelumnya, aku kembali mencoba bertanya melalui chat.
“Linda.” Tulisku dalam chat
“Iya kenapa mas?”
“Kok tiba-tiba kamu ngomong gitu?”
“Udahlah, gak usah tanya-tanya alasannya.”
“Kamu kenapa sih? Berubah gitu.”
“Maaf mas, aku gak bisa dekat lagi kayak dulu.”
Itu adalah perasaan tersakit yang pernah kurasakan, mungkin
akan lebih baik jika dia mengucapkan alasannya sama seperti kisah cintaku
sebelumnya. Sebelum kedua orang yang aku ceritakan dalam kisah Romansa SMK ini.
Aku mencoba menenangkan diriku, mengubah perasaanku selama dua bulan lebih. Sampai
pada saat di mana aku bisa kembali tersenyum dan berkata “Aku suka wajah itu.”
Sulit untuk kembali bisa menyukai orang selain dia sebelumnya. Permainan perasaan
itu lebih menyakitkan dari pada kalah dalam pertandingan atau kompetisi. Seindah
apapun cinta itu, pasti ada rasa yang lebih sakit dari padanya. Saat kau sudah
merasa nyaman berada dipuncak lalu kau dipaksa turun dari sana, apa rasanya?
Itulah yang aku rasakan.
Setelah kejadian itu, dia melihat aku pun acuh terhadapku.
Kalau itu yang dia inginkan, ya sudah.. aku rasa aku bisa melakukan hal yang
lebih baik dari yang dia lakukan. Namun aku tetap membutuhkan seseorang yang
bisa menetralkan rasa sakit itu, bukan dirinya namun orang lain yang bisa lebih
dari teman, lebih.. mungkin seorang kakak atau adik. Aku sudah merasa muak
dengan kata “Pacar” tapi memang.. hanya ada satu pacar di Indonesia. Namanya
Pacar Cina, dari dulu namanya tidak berubah. Itu adalah pacar sejati. Ha ha ha.
Satu yang aku pelajari, tidak ada
yang bisa memaksa kisah hidup. Saat kita merasakan rasanya pahit maka kita akan
tetap merasakannya. Jangan pernah memaksa manis, karena jika kau memaksa maka
rasa pahitnya akan semakin pahit walau awalnya sedikit manis. -Aditya DC @
2013-2015 Fiksi
----------------------------------------------------------------------------------------
Sekian kisah Romansa SMK-ku (Kisah Aditya DC) itulah alasan
kenapa kebanyakan aku menuliskan kisah patah hati, bukan karena aku suka orang
lain patah hati. Tapi cuma itu yang aku rasakan, aku pun tidak berniat membagi
perasaan ini. Namun aku tidak bisa bercerita selain kisah patah hati. Mungkin bulan
November aku bisa kembali update normal, namun kisah Romansa SMK ini aku juga
konversi ke komik. Jadi aku membutuhkan waktu untuk membuat cerpen dan komik. Jika
kau ingin berimajinasi, kau bisa membaca cerpen dan jika kau sulit berimajinasi
dan suka dengan gambar bisa baca komik. Aku suka perbedaan, aku pun ingin
mempersatukannya. Salam Blogger #AditDC
Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar kamu tentang posting ini !