Future (Bagian Akhir)
Sebelumnya di “Future”
“Raka, kamu
diterima!” teriak ibukku
“Apa? Diterima? Tahu dari mana bu?”
“Barusan ibu dapat surat dari universitas yang kamu bilangin
ke ibu kemarin.”
“Loh, kamu gak seneng?”
“Gimana yah.. aku lebih seneng kalo aku udah bisa dapet
kerja yang layak terus bahagiain ibu.”
Ibu memelukku sambil meneteskan air mata, aku berharap
impianku bisa menjadi kenyataan.
Future
[The Last Chapter]
Suka
Genre: Fiksi, Ilmiah,
Romance
Dua semester berlalu, Gemercik air
yang sama terdengar cukup keras walaupun aku berada di dalam ruangan ini. Suara
itu membuatku berada di alam bawah sadarku. Semakin lama aku semakin melamun
dan teringat masa lalu. Teman di belakangku menepuk pundakku.
“Bro, ngelamun ya?”
“Ha ha ha, iya nih. Hujannya buat
aku inget masa lalu.”
“Nah, itu. Kamu tahu gak kenapa
bisa gitu? Aku bingung.”
“Yah.. masa gak tahu. Yah, tahu
sendirilah hujan itu selalu buat perasaan kita tenang, nah.. saat kita tenang
itu, pikiran kita seolah-olah teringat masa lalu. Sering juga kita denger kan,
kalau hujan itu bisa meresonansi ingatan masa lalu. Sebenarnya gak semua orang
gitu, tapi karena banyak yang merasa begitu ya.. akhirnya jadilah teori.”
“Oh iya, sampe sekarang aku masih
gak tahu. Kenapa kamu pinter sains tapi kamu masuk elektronika.”
“Mungkin.. takdir.”
Takdir, satu kata yang tak bisa
dibelokkan siapapun. Sekeras apapun kau coba ubah, hasilnya akan percuma. Bahkan
sains juga percaya ada takdir yang selalu mengorbit pada manusia. Mereka bilang
sains itu ilmu pasti dan dapat dibuktikan secara nyata. Sebenarnya sampai
sekarang ada satu yang tidak bisa artikan oleh siapapun.. itu adalah cinta.
Semua orang pernah merasakannya, hampir
berbeda denganku. Aku selalu berharap bisa melihat wajah istriku saat di masa
depan. Kenyataannya, aku tidak pernah bisa melihatnya. Aku duduk di tangga
depan pintu masuk. Tangga ini lumayan luas, jadi sering orang-orang duduk di
sini. Ada yang hanya basa-basi, ada pula yang membicarakan pelajaran. Bagiku semuanya
tidak berarti sampai aku menemukannya. Dia yang mungkin bisa membangkitkan
semangatku. Mungkin.. walaupun aku masih belum tahu siapa dia.
Setiap sore sepulang kuliah aku
bingung, terkadang aku ingin sekali ikut berkumpul bersama HMS, himpunan mahasiswa
seni. Akan tetapi aku sudah tergabung dalam KeSan, kelompok sains. Memang aku
ini konyol dengan ikut hal semacam itu, namun aku pikir kalau ini akan lebih
berguna untukku. Aku duduk melingkar bersama mereka. Seorang teman dekatku
Candra, dia sering bertanya kepadaku soal jurusanku. Yah.. aku jawab
sejujur-jujurnya, namun kali ini dia tidak bertanya soal itu.
“Bro, lu tahu gak..”
“Gak” potongku
“Ngomong aja belom.”
“Ha ha ha, becanda bro. Ada apa,
ada apa?”
“Hanna, tahu kan?”
“Hanna? Siapa sih?”
“Hanna Citra Amalia. Masa gak tahu?”
“Gak, siapa sih? Kayak pernah
denger namanya.”
“Dia temen kita, lu mah gak pernah
apal nama-nama kita.”
“Ha ha ha. Maaf, emang kenapa dia?
Kamu suka ya?”
“Ya.. gitu lah. Tapi kayaknya, dia
gak suka sama gue deh.”
“Denger bro. Cinta itu buta, kalo
kamu bisa deketin dia.. minimal ya buat dia suka sama kamu. Dia pasti gak akan
memandang wajah, atau apapun dari kamu.”
“Halah.. pacar aja lo belum punya.
Tahu dari mana emang?”
“Sains. Aku gak perlu pacar buat
jelasin masalah sains. Coba aja kalo gak percaya. Intinya, orang yang jatuh
cinta bagian otaknya ada yang tertutup.”
“Bagian otaknya? Bagian yang mana?”
“Bagian penting buat penilaian juga
kontrol perasaan. Alah.. apa ya namanya. Oh.. korteks frontal. Kalau itu tertutup
orang pasti jadi bodoh.”
“Gitu ya. Eh, udah pada dateng tuh.
Yuk mulai.”
Kami pun saling bertukar pikiran,
banyak yang kami bicarakan. Aku selalu tersenyum mendengarkan mereka. Entah sejak
kapan aku menyukai tentang sains, namun aku pikir jika sains ini aku kembangkan
dengan jurusanku mungkin akan lebih bermanfaat.
“Hei, semua. Aku punya ide, kalau misal
kita bisa ubah karbon monoksida jadi oksigen. Mungkin kita bisa buat ruangan
untuk merokok, nanti aku kasih tahu ideku.”
“Wow, bagus. Gimana yang lain.” Ucap
ketua
“Mungkin kita coba pelajari dulu
teorimu Raka.”Sahut Pras
“Wah, bagus.” Ucap Hanna
Aku melihat Candra memindahkan
pandangannya ke bawah saat Hanna mengucapkan itu. Setelah selesai, aku pulang
bersamanya. Kami membicarakan hal sebelumnya, namun aku mengalihkan pembicaraan
kami.
“Gitu ya, kamu.. tadi kenapa?”
“Sebenarnya, gue udah mau ngomong
masalah ini.”
“Apaan? Masalah Hanna? Kan udah aku
bilang tadi.”
“Bukan. Sebenarnya, dia itu suka
sama lo.”
“Apa? Ndra, aku lebih butuhin
teman. Kalau kamu emang suka sama dia. Ambil, aku gak akan ganggu.”
“Gak, gue udah punya pacar.”
“Terus? Kenapa tadi..”
“Iya, gue bohong.”
“Mustahil. Kamu gak bisa bohongin
aku. Kamu gak lebih pintar dariku, aku tahu ciri-ciri orang bohong. Udahlah,
lagian gak ada laki-laki yang mau sampein perasaan perempuan ke laki-laki lain.
Mungkin lebih baik aku keluar.”
“Eh, jangan. Belum ada orang lain
yang punya ide kreatif kayak lo.”
“Udahlah, aku gak akan ngejar dia.”
“Iya tapi, kalau dia yang ngejar
lo?”
“Mungkin itu takdir.”
“Ah.. “
Dia berjalan cepat melewatiku. Jelas,
aku tidak akan pernah bisa mengelak jika dia adalah pasanganku di masa depan.
Aku pulang berjalan kaki perlahan hingga sampai ke rumah. Entah bagaimana aku
bisa membuatnya yakin. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak ikut kumpul dengan
mereka selama beberapa minggu dengan alasan mengerjakan tugas.
Saat terik matahari mulai terasa masuk ke
kelasku, Candra tiba-tiba datang. Saat itu dosen tidak berangkat. Candra
berjalan ke mejaku, aku pun mengambil tasku dan berjalan ke luar ruangan itu.
Dia terdiam di dalam kelas sambil memandangku. Aku mendengar suara pijakkan
kaki seperti mengikutiku. Aku berjalan ke kantin dan duduk di sana. Ternyata
dugaanku benar, Candra pun ikut duduk.
“Kenapa? Kayaknya lebih baik aku
keluar.”
“Bro, jangan gitu. Masa masalah
cewek doang lu keluar? Gue cuma mau minta maaf.”
“Gak perlu. Aku juga udah bosen
pulang sore.”
“Gitu ya. Gue cuma mau bilang,
kalau Kelompok Sains kita udah mau bubar.”
“Biarin, gue gak peduli.”
“Wow, udah berubah bahasa lu.”
“Denger, aku benci orang-orang yang
mutus pertemanan cuma karna hal sepele.”
“Iya, gue minta maaf. Lo emang bener, itu takdir. Gue juga udah dapet
yang lain. Kali ini beneran, gue udah gak peduli lagi soal Hanna.”
Seketika itu Hanna berkata cukup
keras dari belakangku.
“Kenapa? Ada apa sama aku?”
“Eh, Hanna..”
Hanna berjalan mendekati kami, aku
mendenger tiap pijakkan kakinya yang semakin lama semakin dekat.
“Ada apa? Aku salah apa?”
“Gak gitu han, ini gak lagi
ngomongin kamu.” Jawab Candra
“Ya, ini ngomongin soal kamu. Dia
bilang kamu suka sama aku, bener?” Tanyaku
“Apa? Terus kenapa ka?”
pandangannya pun berpindah ke Candra, “Candra! Aku kan udah bilang, gak usah
diomongin ke Raka.”
“Jadi gitu ya, aku pergi dulu.” Ucapku
Aku pun pergi meninggalkan mereka,
entah mengapa dada ini terasa sakit. Jantung ini seperti berdetak lebih keras
dari biasanya. Aku merasakan emosi yang lebih dari sebelumnya. Kembali aku mendengar suara hentakkan kaki di
belakangku, kali ini temponya cukup cepat. Seseorang memegang tangan kananku.
Aku pun menoleh ke belakang.
“Hanna.”
“Kamu kenapa ka? Maafin aku masalah tadi.”
“Udah, gak usah minta maaf. Aku cuma gak suka lihat orang bertengkar.”
“Nanti sore bisa ngomong sebentar gak?”
“Gak bisa, maaf ya.”
“Sebentar aja, kan kamu udah gak ikut Kelompok Sains lagi kan?”
“Yah, katanya juga mau bubar.”
“Eh, jangan gitu. Tolong, aku mau ngomong sesuatu ke kamu.”
“Ya udah, sebentar kan? Sekarang aja.”
“Kalau sekarang aku gak bisa. Aku masih ada kuliah, kamu kan juga ada.” Ucapnya
dengan wajah memelas
“Huuuhh.. ya.”
“Makasih ka. Aku ke kelas dulu”
“Ya.”
Aku seperti mengetahui apa yang ingin dia ucapkan. Aku merasa ada yang aneh
dengan ini semua. Seusai kuliah selesai, aku duduk di tangga masuk sambil
melihat-lihat tugas hari ini sambil mengerjakannya sedikit demi sedikit. Hanna
pun datang dan duduk di sebelahku.
“Aku benci nunggu.”
“Eh, maaf.”
“Udah mau ngomong apa?”
“Aku suka kamu.”
“Gak salah denger aku? Gak ada perempuan di Negara ini yang ngungkapin
perasaannya.”
“Terus aku harus gimana?”
“Ya udah, kamu mau apa?”
“Aku? Aku..”
“Ya kan, ungkapin atau gak diungkapin perasaanmu itu gak akan ngubah
apapun.”
“Setidaknya aku agak sedikit lega.”
Aku terdiam. Perlahan dia meneteskan air matanya, padahal aku tidak
bilang kalau aku tidak suka padanya. Dia seperti menganggap kata-kataku adalah
sebuah penolakan. Dia pun berdiri. Saat dia berjalan satu langkah dariku, aku pun
berdiri dan memegang tangannya.
“Udah, jangan nangis. Maaf ya.”
Dia memelukku, entah apa yang dia pikirkan. Aku pun memeluknya perlahan.
Suara tangisnya mulai terdengar.
“Harusnya aku yang minta maaf.” Ucapnya sambil menangis
“Hanna, kalau aku juga suka kamu. Itu bisa buat kamu senang?” tanyaku
Dia terdiam sejenak, “Aku lebih senang kalau kamu jujur.”
“Ya, aku jujur. Tapi maaf, aku gak mau pacaran.”
“Terus?”
Aku memegang pundaknya, dia pun melepaskan pelukannya dan menatap
wajahku.
“Aku cuma mau kita janji.”
“Apa?”
“Bagaimanapun keadaannya, kita gak boleh pisah. Aku gak mau kehilangan
kamu.” Ucapku sambil mengangkat kelingkingku dihadapannya
Dia tersenyum, lalu dia mengangkat jempolnya berdekatan dengan
kelingkingku.
“Hei beneran, jangan becanda.”
Dia pun mencium pipiku. Dia langsung mengikat kelingkingnya dengan
kelingkingku dan mengulang ucapanku. Semenjak itu aku kembali ikut di kelompok
sains. Sepulang dari kampus, aku melihat sebuah kertas di meja belajarku. Itu
dari Johan, dia menuliskan kalau keadaanku di masa depan dengan pasanganku
berubah. Dia juga memberikan sebuah rekaman bersamaan dengan surat itu. Dia juga
berkata kalau aku boleh membuka Kristal itu.
Saat aku membukanya, Kristal itu ternyata berisi sebuah disk yang sama. Aku
mulai melihatnya di TV kamarku. Ternyata benar, ada perbedaan diantara dua rekaman
tersebut. Satu hal yang paling aku nantikan pun akhrinya telah aku ketahui
lewat rekaman ini. Bahwa Hanna adalah pasanganku di masa depan.
Dokumen
Fiksi @ Future 2021
Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar kamu tentang posting ini !