Menanti Bintang



Menunggu itu memang membosankan, namun aku sudah terlanjur berjanji kepadanya. Aku tak akan meninggalkannya sampai kapanpun.

Menanti Bintang


Hen, besok ada acara apa sih? Masang panggung segala.” Tanyaku dengan wajah heran
“Lah, sekolah lu sendiri malah gak tahu.” Jawabnya dengan nada mengejek
“Emangnya apa?”
“Gak tahu. Tapi kayaknya ada pensi deh. Katanya datengin band-band ternama.”
“Ha ha ha, kabarnya ternyata gak sampai ke kuping gue.”
Kami pun berjalan meninggalkan sekolah. Sepertinya para pengurus acara sangat sibuk hari ini. Walau begitu, jalanan ini tetap terlihat ramai. Saat aku sudah setengah jalan meninggalkan gerbang sekolah, aku melihat Grace. Dia tersenyum menatapku, aku pun membalas senyumnya. Kami berdua berjalan mendekat.
“Udah lama ya.” Grace menundukkan wajahnya
“Yah.. gue pikir loe gak akan balik ke sini.”
“Kita kan udah janji. Oh iya, kalau bisa.. ubah bahasamu kalau ngomong sama aku.” Ucapnya dengan gugup
“Ah.. maaf. Mungkin agak gak enak kalau gue.. eh.. aku ubah, tapi gu.. aku usahain.”
Grace tersenyum menatapku, “Pras, kamu tahu? Bahasa paling romantis?”
“Ya, bahasa Inggris kan?” sahutku dengan yakin
“Bukan.. Bahasa Indonesia. Eh, yuk pulang.”
Kami berdua berjalan pulang menuju ke halte untuk menunggu bis. Kami berdua saling diam, aku pun seperti tak bisa berkata apapun sekarang. Grace, dia pacarku. Aku menunggunya beberapa bulan di sekolah ini. Dia pindah sekolah dari sini ke luar negeri. Aku merasa kehilangan saat itu. Dia adalah seorang perempuan yang selalu membuatku semangat dalam menjalani hidup. Dia juga pintar, aku mengenalnya saat kelas 10. Aku menyukainya entah karena apa, tapi saat itu dia sering menatapku. Aku berkenalan dengannya saat aku berdiri menatap papan nilai. Namanya selalu ada di urutan pertama.
Dia pindah sekolah semenjak akhir kelas 11. Katanya, orang tuanya dipindah tugaskan ke luar negeri. Yah.. Aku mengira saat itu pertemuan terakhir kami. Saat dia mengucapkan kata itu seakan jantung ini berhenti berdegup, namun dia meyakinkanku. Dia berjanji akan kembali ke sini untuk menemuiku dan.. entahlah aku lupa.
“Hei! Jangan ngelamun kali.” Grace menepuk pundakku
“Eh heh..maaf. Gue.. eh, aku kepikiran waktu dulu.”
“Oh.. udahlah, aku kan udah di sini. Gimana sekolahmu?”
Aku terdiam sejenak, “Tapi kamu di sini gak lama kan?”
Seketika ekspresinya berubah, dia menarik tangannya yang sebelumnya ada di pundaku.
“Yah.. aku di sini, cuma dua hari. Aku ijin sama ayah buat lihat pensi sekolahku yang dulu.”
“Gitu ya.” Ucapku dengan lemas
“Pras. Mau ke kafe gak?”
“Yah.. boleh.”
Kami berhenti di sebuah kafe. Disana aku memesan Espresso Roast dan dia Guatemala Casi Cielo. Dia memesan kopi yang sama seperti dulu. Perlahan dia mengambil ponsel dari tasnya. Aku terdiam, akupun mengambil pulpen yang berada di saku bajuku. Aku menekan-tekan pulpen itu sehingga menghasilkan suara.
“Grace, Amalia Grace Nandya.”
“Eh iya pras ada apa?” Dia menoleh ke arahku
“Kamu yang ngajak ke sini, harusnya aku yang tanya ada apa?” ucapku dengan pelan
“Oh iya.” Dia menaruh ponselnya di meja, “Aku cuma mau ngobrol aja.”
Aku diam sambil menatap wajahnya, aku bingung akan ucapannya.
“Hmm.. Pras Harry Sucipto. Yah.. hampir setengah tahun gak ketemu.” Ucap Grace
“Yah, kamu apa kabar?”
“Baik, eh.. pensi besok kan? Mau datengin apa?”
“Aku gak tahu, biasanya kan kamu yang ngasih tahu aku.”
Pesanan kami pun datang, pelayan menaruhnya ke meja kami dan menyebutkan ulang pesanan.
“Pras, kenapa waktu itu kamu bisa.. suka aku?”
“Aku? Gak tahu. Cuma, waktu itu aku lagi kepengen punya seseorang yang bisa perhatiin aku, bisa ngajarin aku sesuatu.”
Perlahan dia tersenyum, dia memegang sendok di gelas kopinya dan mengaduknya perlahan. Aku mengambil buku diary kecilku dari tas. Dia memerhatikanku. Aku mulai membuka lembaran dan membacanya.
“25 Februari 2014. Aku merasa.. aku butuh seseorang yang bisa menyemangatiku. Setiap sekolah memang sama banyak tugasnya.
27 Februari 2014. Aku melihat seorang perempuan yang cantik, dia kelas X IPA 1. Aku berharap bisa sekelas dengannya suatu hari nanti.
21 April 2014. Aku bertemu dengannya tadi di papan pengumuman. Namanya Grace, entah siapa nama lengkapnya.
23 April 2014. Namanya Amalia Grace Nandya. Dia selalu di urutan pertama.
5 Juli 2014. Sepertinya aku tidak melihatnya lagi. Harapanku sepertinya tidak tercapai.
12 Juli 2014. Dia menoleh ke arahku, 3 kali saat dia berjalan bersama temannya.
Kamu ingat? 12 Juli 2014?” Tanyaku
“Oh, ya. Aku emang ngelakuin itu, waktu itu aku suka sama kamu.”
“Waktu itu? Maksudnya?”
“Ehm.. yah. Waktu itu, aku pikir waktu itu.. aku gak tahu. Aku gak tahu apa yang aku lakuin.” Jawabnya dengan gugup
“Jadi, kamu gak bener-bener suka sama aku ya.”
“Iya.”
Aku terkejut mendengarnya. Sesak mulai terasa di dadaku, aku mengerutkan dahiku dan menatap ke meja.
“Tapi.. perlahan aku mulai suka sama kamu.” Lanjutnya, “Sampai pas aku mau pindah sekolah, kamu buat janji yang bikin hatiku terasa sakit. Kata-katamu, kamu kayak gak mau ngelepas aku.”
“Grace, aku minta maaf. Kalau emang kamu mau kita pisah, gak papa kok.” Aku meyakinkannya walaupun dadaku semakin terasa sesak.
“Gini pras, maaf banget. Aku gak bisa ingkarin janjiku. Aku terus coba buat jadiin kamu satu-satunya di hatiku, tapi aku merasa nyaman dengan teman-temanku di sana. Aku buka kembali catatan-catatan lamaku, sampai aku temuin nama kamu. Aku inget lagi sama janji itu.” Grace terlihat agak sedikit sedih
“Grace, jangan maksain diri kamu. Kalo emang kamu suka orang lain, gak apa kok.”
Perlahan dia menjatuhkan air matanya. Entah mengapa aku juga ikut sedih karenanya. Aku mencoba menenangkannya. Dia tersenyum padaku dengan wajahnya yang sedih.
“Pras, janji tetap janji. Kalau emang ini takdir kita, aku gak akan nolak.”
“Udah, udah.. maaf. Harusnya aku gak tanyain itu tadi.” Aku mulai kecewa dengan diriku, “Oh iya, kamu mau lanjutin kuliah di mana?”
Dia terdiam, “Aku.. eh, kamu mau di mana?”
“Aku mungkin di Institut Teknologi Bandung.
“Wow, berkelas ya. Ha ha ha.”
“Kamu belum jawab pertanyaanku.”
Dia mengambil cangkirnya, perlahan dia menenggak kopi.
“Mmm.. Aku sebenarnya disuruh ngelanjutin di California Collage of The Arts, tapi aku tolak.”
“Loh, kenapa? Kamu malah bagus kuliah di sana.”
“Aku gak mau.. aku milih kuliah di Indonesia. Aku gak bisa jauh dari kamu.. lagi.”
“Grace, kamu terlalu maksain diri kamu.”
“Udahlah. Yuk pulang, udah malem.”
“Ya udah, yuk.”
Kami pun pulang, kami naik taksi sampai ke rumahku. Aku heran, dia juga ikut turun di sini. Aku sempat bertanya padanya, dia menjawab “Aku nginep rumahmu semalam ini aja ya!” Ibuku mengijinkannya tinggal. Memang masih ada satu kamar yang tidak terpakai, namun aku tetap tidak enak.
Malam itu aku duduk di luar rumah dengan membawa buku diaryku. Aku menuliskan kisah hari ini di halaman baru. Seketika itu pula Grace memanggilku dari pintu.
“Pras? Gak tidur? Gak ada peraturan apa gitu ya di rumahmu.”
“Grace, emang aku suruh kita janji kalau kita gak boleh ninggalin satu sama lain sampai kapan pun. Tapi kalau kamu emang gak bisa ya gak papa.”
“Heh.. aku kan udah bilang. Udah lah.. aku gak akan pergi.. jauh dari kamu. Sampai kita bisa menyatu, kayak lego gitu. Ha ha ha.”
Aku tersenyum kepadanya, “Terima kasih.”
Malam itu adalah malam yang berbeda dengan sebelumnya. Berbeda karena adanya dia, bintang yang aku tunggu. Kapan dia jatuh kembali, jatuh kembali ke sini. Ke hatiku.

Dokumen Aditya DC @ 2017 - Janji

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Judul Eps. 2 (Ini Nyata !)

Andai Aku Kamu (Ada Mentari di Balik Mendung)

Arti dan Teori Cinta