Romansa SMK (Tangis yang Tak Terdengar)
Setiap
gerakan yang dibuat-buat itu seperti tak bermakna. Lain halnya dengan yang
terdiam termenung akan suatu hal. Kelas yang seharusnya sepi entah mengapa
ramai terdengar suara-suara layaknya tempat perbelanjaan. Sendiriku duduk di
kursi ini, baris ke tiga dari depan. Menatap telapak tanganku yang kosong tak
berisi, berharap bisa melakukan suatu hal besar dengan tangan ini.
Masa SMK
itu adalah sebuah masa yang begitu indah. Tak di SMK ataupun SMA, pada masa itu
akan terselip sebuah kisah cinta di dalamnya. Ada yang tak terdengar, ada pula
yang sampai seisi sekolah mengetahuinya. Bukan karena diumbar, tapi karena
gosip. Bukan cuma selebriti yang punya gosip, kami juga memilikinya.
Romansa SMK (Tangis yang Tak Terdengar)
Embusan
angin yang begitu keras terdengar di telingaku. Perlahan aku berdiri dari kursi
ini dan keluar dari kelas ini. Memang jam kosong itu terasa sedikit
menyebalkan, harusnya mereka sadar. Waktu lapang ini sebaiknya digunakan untuk
sesuatu yang sedikit berharga, bukannya malah saling mengobrol. Mereka cuma
sadar kalau waktu lapang itu menjadi sempit. Hah.. Kewalahan pasti akhirnya.
Aku bukan satu-satunya orang yang benci suasana kelas yang seperti ini, aku hannyalah
satu dari satu triliun orang di bumi ini.
Tidak hanya
berhenti di luar kelas, aku kembali berjalan tak tentu arah dari sana. Semakin
lama gerakan kakiku semakin cepat. Tak lagi aku berjalan, aku berlari tak tentu
arah. Berharap mendapat sesuatu yang tidak membuatku bosan. Berhenti aku di
suatu tempat yang sunyi. Aku duduk di podium paduan suara dekat lapangan
upacara. Menatapku ke depan, rumput hijau yang cukup luas itu bergoyang tertiup
angin. Semakin kencang angin itu sampai diriku pun merasakan sentuhannya. Rambutku
terkibas, aku menutup mataku sembari merasakan pelukannya.
“Hei”.
Panggil seseorang
Seketika
aku membuka mataku, itu seorang guru. “Kenapa kok gak masuk ke kelas?” Tanya
guru itu. “Hmm.. Iya bu.” Aku menjawab dengan agak canggung. Aku berbalik dan
langsung berjalan menuju ke kelas. Tak seorang pun terlihat di luar ruangan,
hanya aku sendirian yang sedang berjalan di sini. Aku berjalan melewati lorong
kecil dan naik melalui tangga untuk sampai ke ruang kelasku, ruang 14. Baru
menaiki dua anak tangga saja, suara teman-temanku terdengar dari sini. Aku
bahkan tidak yakin kalau mereka itu adalah temanku. Terkadang, aku membenci apa
yang mereka lakukan. Terpaksa aku menganggap mereka teman hanya karena mereka
satu kelas denganku. Tidak semua orang di kelas ini aku benci, ada seorang
sahabatku yang tahu betul siapa aku.
Aku kembali
duduk ke tempat dudukku. Sahabatku itu berjalan mendekatiku dan duduk di depan
mejaku. Aku langsung menundukkan kepala di atas tanganku yang aku letakkan di
meja.
“Sen.”
Panggilnya
“Namaku
Agnes.”
“Iya,
lagian Yansen kan bagian dari namamu.”
“Jelek
tahu.”
“Apa harus
aku panggil Air?”
“Apa sih”
ucapku sambil memalingkan wajahku ke hadapannya
“Ya dong,
Agnes Yansen Naira?”
“Kalau
lengkap begitu malah kelihatan cantik. Ha ha ha.”
“Yee.. kamu.”
Ucapnya sambil memukul pipiku pelan, “Eh, sen. Kamu mau ke kantin gak? Bentar
lagi istirahat nih?”
“Gak ah,
aku mau bobok.”
“Ya
udahlah, aku sendiri aja.”
“Eh.. eh..
aku ikut.”
Aku kembali
keluar dari kelas ini, namun kali ini aku bersama seseorang. Terkadang aku pula
ingin merasakan ketenangan. Rasa tenang di mana tempat itu bisa menghilangkan
rasa bimbang dalam hatiku. Temanku itu berjalan pelan di sampingku. Pelan
sekali, entah apa yang dia pikirkan. Namun aku pun tak pernah peduli dengannya.
“Eh, sen.
Tiap kita jalan aku ngerasa ada hal aneh.”
“Iya, aku
kan kayak makhluk halus. Makanya kamu ngerasa aneh.”
“Yee, aku
beneran, juga. Eh.. udah sampai...”
Setiap
melihat tempat ini aku selalu tersenyum, sangat bersih. Lantainya yang terlihat
putih bersinar, itu membuat rasa sedihku sedikit menghilang. Kami berdua duduk
di meja terdepan dan memesan makanan. Anehnya adalah tempat ini masih sepi, padahal
setiap istirahat selalu ramai. Aku pun melihat jam tanganku, ternyata ini baru
jam 11.40 . Apa sebenarnya yang ada di benak temanku ini. Aku hanya memesan es
teh, bukannya tak punya uang. Aku biasanya pergi ke sini juga untuk memesan itu
karena aku telah membawa bekalku sendiri. Benar, aku lupa membawa bekalku tadi.
Kembali aku menundukkan wajahku ke bawah dan meletakkan keningku pada tanganku.
“Seeennn...”
panggil temanku sambil memegang pundakku
“Udah dua
tahun kamu manggil namaku san sen san sen gak bosen apa?”
“Iya deh
nes. Kalo nes kan kedengarannya jelek. Kayak ngenes gitu. Ha ha ha.”
“Ah, kamu
mah ngeledek aku mulu. Bosen ah.”
Semakin
lama, aku semakin mendengar suara tapakkan kaki di tempat ini. Cukup banyak,
aku melihat kaki-kaki mereka. Sepatu yang mereka kenakan pun sama semua,
terkadang aku berpikir kalau sekolah ini tidak punya style. Yah, namanya juga
SMK. Perlahan aku menutup mataku, tak terasa ada seseorang yang duduk tepat di
depanku. Kalau dilihat dari sepatunya, sepertinya dia laki-laki. Mungkin itu
cowoknya Gaby, sahabatku.
“Shhtt..
Sen.”
“Apa sih?”
tanyaku sambil mengangkat kepalaku
“Hai. Agnes
kan?” tanya cowok di depanku
“Bukan.
Kamu salah orang.”
“Iya, kamu
salah orang.” Lanjut Gaby
“Masa sih?
Kok cantiknya sama kayak yang ...”
“Pergi yuk,
sen.” Ajak Gaby
Kami berdua
meninggalkan kantin. Beberapa langkah keluar dari sana, aku tertawa pelan. “Kenapa
ketawa sen?” tanya Gaby. Aku tersenyum padanya dan berjalan sambil menatap
jalan yang aku lalui. Kami berdua berniat kembali ke kelas, namun aku merasa
agak capek. Aku mengajak Gaby duduk di depan jurusan.
“Kenapa
tadi kamu ketawa?”
“Aku kira
cowok kamu lo. Ha ha ha.”
“Eh, sen.
Kamu aku lihat enjoy aja gak punya cowok. Kenapa?”
“Gak usah
ngomongin itu lah.”
“Eh..
kenapa? Cerita dong makanya.. sahabatan dua tahun masa aku gak tahu alasan itu
sih?”
“Dulu sih
pernah, pas kelas satu sampai kelas dua doang. Kamu juga gak perlu tahu lah.
Kisah pahit seorang Agnes.”
“Eh gaya
banget sih. Nama kamu kalau di singkat agak lucu kayaknya sen.”
“Maksudnya?”
“Agnes
Yansen Naira, jadinya Ayana. Wuih.. kayak pernah denger nama itu.”
“Iya deh
yang wota.. hu..”
“Ceritain
dong.”
“Nanti sepulang sekolah aja ya.”
Kami
kembali masuk ke dalam kelas, kali ini kelas tidak kosong lagi. Aku cukup
senang, kalau kelas kosong itu sama saja seperti hati ini yang juga kosong. Ha
ha ha. Sepulang sekolah aku berjalan sendiri, Gaby menungguku di depan sekolah.
Rumah kami bertolak belakang, juga lumayan dekat dengan sekolahku. Saat aku
melewati gerbang sekolah, aku melihat seseorang. Aku menundukkan wajahku, tak
kuat aku memandangnya.. lagi. Langkahku semakin cepat. Aku merasa kalau dia berjalan
mendekatiku.
“Nes.”
Panggilnya
Aku tak
peduli dengannya, dia memegang tanganku.
“Nes,
kenapa? Aku minta maaf.”
“Kenapa
minta maaf? Gak ada yang salah kok.” Ucapku sambil menundukkan kepalaku
“Nes..”
“Kalau kamu
berharap bisa kayak dulu lagi, aku minta maaf.” Ucapku sambil melepaskan
tanganku dari genggamannya
Aku kembali
berjalan dan melewatinya, terasa tetesan air mata ini mengalir di pipiku. Aku
segera menghapusnya, aku tak ingin Gaby melihatku begini. Aku melihat Gaby
menungguku di depan. Aku berlari sambil tersenyum padanya. Kami pun berjalan
bersama.
“Eh.. sen.
Kok kamu kayak abis na.. ngi.. s sih?”
“Enggak,
itu tadi pas aku pakai jaket malah mataku kena. Aduh.. ya jadinya gini.”
Jawabku
“Eh, yang
tadi siang. Ceritain dong.”
“Yakin?”
“Iya.. terserah
sih.”
“TERSERAH?
Ha ha ha. Tapi kamu diem ya kalau aku lagi cerita.”
“Iya deh
iya.”
“Panjang,
pernah waktu itu aku ditembak cowok, anehnya aku gak mati.”
“Yee malah
becanda.” Potong Gaby
“Shhtt..
aku lagi cerita. Nah aku terima deh, berharapnya pengen bisa sampe tua nanti
gitu. Beberapa lama, hal buruk terjadi. Gak tahu juga ada apa sama dia, tapi
sejak itu.. aku benci sama dia.”
“Emang dia
ngapain kamu? Mutusin kamu?”
“Shhhtt..
diem dulu. Rasa benci itu aku pendam dalam hati. Pas sampai rumah, aduh rasanya
itu sedih banget, pengen bunuh diri gitu. Sesak dadaku, dia kayak gak tahu
perasaanku. Aku obrak-abrik kamarku sampai perasaanku normal. Tapi gak bisa,
aku duduk diem di pojokan kamar meluk kakiku.
Beberapa minggu berlalu, perasaanku akhirnya bisa kembali normal. Aku
pun berkata pada diriku sendiri ‘Aku gak akan lagi ngulang itu.’ Sumpah sakit
banget rasanya. Ah.. malah cerita gitu, kan aku jadi sedih..” ucapku sambil
menghapus air mata
“Eh, jangan
sedih. Kok segitunya ya. Itu.. itu beneran?”
“Ya gak
lah.. Ha ha ha. Lagian malah percaya.”
“Wah parah
lu.”
Sebenarnya
temanku itu tidak tahu tentang diriku. Hampir keseluruhan cerita itu benar,
namun aku tidak bisa melupakan dirinya. Sering kali aku teringat kembali
kenangan bersamanya yang terus menyesakkan dadaku. Aku hanya terdiam dan
menikmati rasa sakit itu. Setiap kali di sekolah aku bertemu dengannya pun aku terkadang
hanya tersenyum padanya walaupun aku merasakan detakkan jantung ini yang terasa
keras. Ingin rasanya aku memukul dirinya, tapi apa dayaku. Sulit merelakannya
pergi entah mengapa. Aku pun tidak tahu apakah dia juga merasakan apa yang aku
rasakan.
Berapa
banyak hal yang aku pelajari pun tidak akan bisa mengajariku suatu pelajaran
besar tentang kehidupan. Pelajaran tentang sakitnya patah hati yang lebih sakit
dari pada kakimu menginjak duri. Rasa sakit yang akan membuatmu terus merasakan
sedih sampai waktu usainya tiba. Satu yang aku pelajari, laki-laki itu berbeda
dengan perempuan. Kebanyakan orang berpikir “Setiap” perempuan akan sedih pada
awalnya saja. Aku pikir tidak semua. Aku pun tidak tahu tentang laki-laki,
apakah mereka akan sedih satu hari setelah diputuskan? Apa yang salah denganku.
Memang aku hanya perempuan biasa, namun apakah kau tidak tahu perasaanku ini
hanya akan berpusat pada satu orang saja? Aku berbeda. Jangan berpikiran aneh
tentang diriku. Jika memang ingin mengetahui siapa sebenarnya diriku, kenapa
tidak langsung tanya kepadaku? Aku percaya tidak ada pengecut di sini. – Agnes Yansen Naira @2016 Fiksi
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lama tidak posting karena saya disibukkan dengan magang. Yah, sebenarnya mau buat spesial HUT NKRI.. eh,,.. malah kelupaan. Ya sudah, aku ambil yang sudah jadi saja. Jadilah Romansa SMK yang ke-dua.
Tidak ada kemerdekaan di negara ini tanpa perjuangan para pahlawannya. Semangat mereka berkibar layaknya sang bendera merah putih. Lawan penjajah demi negara tercinta. Merdeka. Selamat Jalan Pahlawanku, kemerdekaan masih berjaya di Indonesia kita. -AditDC
Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar kamu tentang posting ini !