Romansa SMK: Tangis yang Tak Berujung (Bagian 1)
Romansa SMK (cerita 3 dan 4) adalah sebuah kisahku sendiri
dengan sedikit perubahan ke fiksi agar tidak ada yang tersinggung. Kalau ada
yang tersinggung saya mohon maaf, sekarang jaman lapor-laporan masalahnya. Ha ha
ha. Be Creative. Indonesia bisa!
Kisah Aditya DC: Piramida tumpul (Kisah Pertama)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rintik gerimis yang terus menerus terdengar tak kunjung
berhenti. Makin lama tidak semakin reda malah semakin deras. Tak tahu kapan hujan
ini akan berakhir. Gelap.. Terhalang sinar yang ingin muncul. Walau sinar
muncul sebentar pun akan tetap gelap kembali. Sinar yang hanya sekejap itu
selalu membuahkan kebahagian. Tentu saja dalam sekejap pula.
Romansa SMK: Tangis yang Tak Berujung (Bagian 1)
(Kisah Aditya DC: Piramida Tumpul)
Duduk sendiri aku di depan jurusanku, menatap pepohonan dan
merasakan sentuhan angin. Menatap rerumputan hijau pun membuat hatiku tenang,
namun rumput telah dipotong. Lapangan itu terlihat kacau tanpa ada yang
menghiasinya. Gelap, sinar terhalang dedaunan. Tempat ini adalah tempat
favoritku, di sini aku bisa melihat semuanya bagai mataku berada di atas
langit. Tak hanya duduk melamun, aku duduk sambil berpikir. Apapun aku pikirkan
demi menghilangkan rasa sedih ini. Kelas 13 (Kelas 4 SMK pada sekolah tertentu)
itu bukan kelas terakhir, namun ini adalah awal dari yang akhir. Teringat kisah
romansaku di tahun-tahun sebelumnya.
Saat itu aku masih kelas 11, tak seorang pun mengenal siapa
aku kecuali teman sekelasku sendiri. Aku duduk di depan jurusanku dan menatap
ke sana kemari. Seperti yang ku katakan sebelumnya, mataku bagaikan di atas
langit. Menutup perasaan sebelumnya yang gelap gulita, aku mencoba menghibur
diriku sendiri dengan itu. Tak salah juga bukan? Tidak ada orang yang
memedulikanku. Aku memiliki seorang teman yang selalu mendengarkan apapun yang
aku ucapkan. Roni, dia agak pendek maksudnya lebih pendek dariku. Aku sering
bercerita banyak dengannya termasuk tentang cerpen yang aku buat sejak akhir
kelas 10. Kadang dia juga balik cerita kepadaku, aku pun suka mendengar kisah
apa pun dan dari siapa pun.
Telah lama sebenarnya, aku suka dengan seseorang sejak kelas
10. Dia adalah Nada Riana. Dia tidak dari SMK yang aku tempati ini, dia dari
sebuah SMA. Setiap kali aku merencanakan pertemuan kami dan itu selalu
berhasil. Di dalam bis kami hanya bertatap mata dan pergi. Walau sekolah kami
searah, namun cukup sulit untuk berbincang dengannya. Sepulang sekolah, aku
naik bis untuk pulang. Aku ternyata satu bis lagi dengannya, kebetulan dia
berdiri tepat di samping kiriku.
“Hai.” Sapaku
“Iya, ada apa?”
“Nada Rania kan?”
“Loh, kok bisa tahu sih? Kamu siapa?”
“Eh.. Nggak, nebak aja. He he. Aku Adit, Aditya Dwi Cahyo.”
“Aku tahu kok.”
Detakkan jantungku seakan berhenti saat dia mengatakan itu.
“Tahu apa?”
“Tahu kamu.. yang sering sebis juga kan? Sering ngeliatin aku
gitu. Kamu aneh banget.”
“Eh, maaf masalah itu. Aku gak bermaksu..”
“Gak papa kok.” Potongnya.
Bis itu berhenti pada halte di jalan dekat rumahnya, dia pun
turun. Aku juga ikut turun di sana, bis itu menutup pintunya. Dia kaget
melihatku ikut turun di sana. Aku pun bingung, kenapa aku harus ikut turun di
sini. Dia terus menatap ke arahku.
“Kenapa?” tanyaku sambil menggerakkan alisku ke atas
“Kamu kok? Biasanya kan.. Eh, jangan-jangan.. mau ngikutin
aku ya?”
“Apa maksudnya? Gak, aku cuma.. cuma.. kalo boleh sih.”
“Boleh apa? Apa sih?”
“Gak jadi deh.” Dia bingung mendengar ucapanku, “Oh iya, aku
tadi juga gak sadar turun di sini.”
“Kamu aneh.” Ucapnya sambil berjalan turun dari halte.
“Hei.” Dia membalikkan wajahnya ke arahku dan berhenti
berjalan, “Sampai ketemu besok.”
Dia kembali berjalan meninggalkanku, aku masih berdiri di halte
itu dan menunggu bis selanjutnya. Bukan cuma sekali itu, beberapa kali aku
bertemu dan berbincang dengannya. Dia terlihat cantik, rambutnya lurus diikat
satu di belakang, tingginya setinggi mataku, jari-jarinya kecil terlihat lucu
saat aku melihatnya, dia mengenakan kacamata, suaranya lirih.. sangat indah
ditelingaku. Aku terus terbayang wajah dan suara indahnya di setiap hariku.
Hari demi hari berlalu, aku mendengar kabar kalau SMA-nya
mengadakan pensi yang melibatkan umum. Saat itu aku tidak memiliki uang, aku
mengantre untuk mengambil tiket gratisnya. Banyak yang bilang, aku tidak modal.
Memang, tapi butuh perjuangan untuk bisa mendapatkannya. Sore sebelum pensi
dimulai, beberapa kru di sana sedang mempersiapkan pementasannya. Aku berdiri
di depan gerbang dan menatap ke dalam. Ada pula beberapa orang yang sudah
berada di depan sekolah itu. Aku melihat Nada di sana, “Nada!” panggilku. Dia menoleh
ke arahku, “Eh, Adit. Awal banget sih?”
ucapnya seraya tersenyum menatapku.
“Kepingin aja.”
“Ya udah masuk ayo.”
“Bukannya belum mulai ya?”
“Udah.. sini tiket masuknya.”
Aku memberikan tiket masuk yang aku dapatkan kepadanya. Dia membuka
gerbang sedikit untuk jalanku masuk. Aku pun langsung masuk ke dalam sekolah
itu. Dia mengajakku berjalan ke dalam sekolahnya. Di sana sangat ramai sekali,
padahal gerbangnya masih ditutup. Aku melihat beberapa orang berkumpul di sana.
“Nad, itu teman kamu ada apa sih?”
“Oh, itu ya.. lagi rapat.”
“Kamu gak ikut?”
“Gak papa nih aku tinggal?”
“Gak papa kali, aku tunggu di sini deh.”
“Eh, gak usah. Jalan-jalan dulu aja. Gak enak ditunggu gitu.”
“Apa? Kayak film bioskop? Ha ha ha.” Ucapku dengan candaan. Dia
pun ikut tertawa
“Ya udah, aku ke sana dulu.”
“Iya, silakan.”
Sembari menunggunya, aku berjalan-jalan memutari tempat
pentasnya. Beberapa orang menatapku dengan tatapan aneh, aku pun hanya biasa
saja menanggapinya. Aku berjalan masuk ke tengah sekolahnya. Aku melihat
kelas-kelas di sana. Aku berhenti di depan lab. Fisika, aku duduk di kursi
depan kelasnya. Beberapa lama kemudian, dia berdiri di dekat tempatku duduk.
“Itu pelajaran favoritku.”
“Eh, Nada. Ngagetin aja. Ini ya? Hebat dong.”
“Kamu juga suka? Eh, Kenapa di sini?”
“Aku istirahat sebentar. Kalo ngomongin pelajaran, aku suka
Bahasa.. Bahasa Indonesia.”
“Kenapa?”
“Iya gitu deh.. Soalnya kalau kamu belajar bahasa Indonesia,
kamu pasti juga belajar pelajaran lain. Ya kan? Ha ha ha.” Jawabku dengan
sedikit tertawa
“Iya juga sih.”
“Gak mau duduk?”
Mendengar itu, dia tersenyum dan langsung duduk di sebelahku.
“Masih lama ya?”
“Iyalah, kan aku udah bilang.. kamu terlalu awal datangnya.”
“Eh iya ya. Ha ha ha.”
Kami duduk bersama, aku menatap wajahnya. Dia menolehkan
wajahnya ke tempat lain. “Udah dong lihatinnya.” Ucapnya. Aku tersenyum sambil
meminta maaf kepadanya.
“Oh iya, boleh.. itu.. em.. tukeran.” Ucapku terbata-bata
“Tukeran apa?”
“Nomor.”
“Gak ah, pakai ini aja.” Ucapnya sambil menunjukkan aplikasi chatting
“Oh.. aku punya, bentar. ID-mu apa?”
Dia memberiku id usernya, aku menambahkannya sebagai teman.
Dia mengajakku ke tengah acara itu. Ternyata sudah dimulai, beberapa orang
sudah ada di dalam acara. Dia meninggalkanku, katanya mau bertugas. Itu adalah
satu kenangan yang cukup membuatku bahagia walaupun hanya sekejap. Lama ke
lamaan, aku sering chattingan dengannya. Dia cukup seru, tapi sepertinya dia
pendiam. Aku merasa semakin dekat dengannya, sampai saat aku mengajaknya berkencan.
“Nad, bisa pergi gak malam ini?” tanyaku lewat chat
“Ada apa sih dit?”
“Ntar kalau sudah ke sana, aku kasih tahu.”
“Di mana?”
Aku memilih sebuah tempat yang cukup bagus menurutku. Sebuah kafe
yang cukup ramai pengunjung. Aku duduk di meja nomor tiga, aku menunggunya di
sana. Aku lakukan apa pun demi mendapatkannya, apa pun.. aku ingin terus
bersamanya. Dia pun datang, di sana aku hanya memesan secangkir kopi. Dia juga
memesan pesanan yang sama, sepertinya dia tidak enak denganku.
“Nad, yakin cuma mesan itu?”
“Gak papa, biar samaan aja. Ha ha ha.” Jawabnya sambil
tertawa, “Oh iya, kok ngajak ke sini ada apa?”
“Aku mau ngomong sesuatu.”
“Ngomong aja kali, lewat chat apa gak bisa?”
“Enakan langsung Nadaaa...”
“Iya deh, apa? Ngomong aja.”
“Aku.. aku.. aku suka kamu.”
“Terus kenapa?”
“Ya.., gim.. ana ya.” Ucapku pelan dan gugup
“Aku minta maaf, tapi aku gak suka sama kamu.”
“Ah.. gitu ya.” Ucapku dengan lemas, aku sangat terkejut
mendengarnya.
“Maaf dit..”
“Iya, gak papa kok. Tapi..”
“Eh, aku pergi dulu ya. Sekali lagi aku minta maaf.” Potongnya.
Perasaan apa ini, sakit. Itulah perasaan yang aku rasakan
pertama kali di masa SMK ini. Sakit seperti tertusuk di bagian jantung ini. Aku
hanya terdiam duduk di tempat itu, aku menundukkan kepalaku. Rasanya aneh,
ingin sedih tapi tak bisa. Aku meninggalkan tempat itu. Sampai di rumah, aku
terus chat dia. Tak ada balasan darinya, mungkin aku telah diblock. Aku pun
tidak tahu apa salahku, kenapa harus menutupi kesalahan. Aku terdiam di kamar,
aku menyesal karena telah mengungkapkan isi hatiku. Perlahan air mataku turun
menuju pipiku, aku tak menghapus air mata itu. Aku membiarkannya, namun
kenangan itu sulit dihapus. Kenapa harus berakhir seperti ini. Dari situlah
awal aku menulis sebuah cerpen. Mereka bertanya, “Kenapa ceritanya sedih?” aku
pun hanya bisa berkata, “Yah.. itulah cinta yang aku rasakan. Sakit.” Semakin
banyak dan semakin banyak yang aku tulis, itu semua tidak bisa menghilangkan
rasa sedihku. Walau berapa banyak perasaan yang aku ungkapkan lewat ceritaku,
aku tak peduli. Kisahku itu bagai tak ada akhir, tak ada ujungnya. Berhenti di
tengah. Bagai sebuah piramida yang belum selesai dibangun.
Rasa sakit ini bagai tiada akhir. Telah putus harapanku, terkadang
rasa sedih muncul dengan sendirinya. Itu pikirku saat di kelas 11 SMK. Ada yang
lain bertanya, “Sejak kapan kau menulis kisah ‘Romansa SMK’ ?” Aku terdiam
sejenak. Bukan karena aku tidak bisa menjawabnya, tapi karena rasa sakit yang
muncul kembali. “Romansa SMK aku tulis sejak aku tidak lagi memiliki hubungan
spesial dengan seseorang. Hubungan yang hanya sekejap bagai lilin yang tertiup
angin kencang. Bagai terhalang sebuah tembok besar nan kokoh. Kisah Romansaku
di kelas 12.”
Salah apa aku selama ini. Aku bagai tak punya mata untuk
melihat dan hati untuk memilih. Buta, bukan buta yang sebenarnya. Kegelapan selalu
datang dihatiku. Rasa benci yang terus menerus meluap bagai tersulut api. Perasaan
cinta yang terus berakhir dengan sakit hati. Kubuang semua gambarku, wajah yang
aku lukis di masa itu. Semenjak itu aku tidak pernah lagi melukis wajah
seseorang. Aku berhenti menulis, harapanku hancur. Kata itu terus terulang. Kisah
romansa di kelas 11 ini mungkin tidak terlalu menyakitkan. Ada satu kisah lagi
di kelas 12, dari situ aku belajar tentang arti dari kata “Suka” dan “Cinta”.
Aku belajar tentang “Kasih Sayang.” Aku belajar untuk tidak lagi menyukai orang
lain selain dia. Namun semua itu berakhir sama, buntu.. tak berujung.
Saat itu udara panas menerjang sekolah, rumput-rumput
mengering. Hujan tak tampak di sini, bukan dihatiku yang selalu hujan. Sekolah seperti
kekeringan air, beberapa orang antre untuk bersuci. Kabar-kabar beterbangan,
tak punya mata, tak punya kaki, juga tak punya sayap. Aku duduk di depan
jurusan. Gelap, sinar mentari tertutup dedaunan pohon. ...(Bersambung di “Bagian2”)
---------------------------------------------------------------------------------------------
September aku balik ke Semarang. Cari referensi cerpen selanjutnya. he he. oh iya, tunggu lanjutannya. Saya akan vakum cukup lama. Salam Blogger, Salam Reader, Salam juga buat anak SMK.
Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar kamu tentang posting ini !