Andai Aku Kamu (Ada Mentari di Balik Mendung)
Andai Aku Kamu
“Ada Mentari di Balik Mendung”
Deru deras suara rintihan air
hujan yang mengiringi perasaan sedih ini. Perasaan ini seakan sudah mati karena
mendengarkan kata-kata itu. Pasanganku memutuskan hubungan kami karena ia
pikir, ia tidak akan bisa berhubungan denganku jika berjauhan. Terus menerus
aku bertanya pada diri sendiri, “Apa salahku?”
Aku hanya bisa terdiam sambil menikmati rasa sakit di dadaku ini.
Mungkin rasanya memang sangat sakit, aku berharap bisa mengurangi rasa sakit
ini. Pagi ini, aku harus beranjak pergi ke Jogjakarta guna melanjutkan kuliah
di sana.
Aku berangkat seorang diri
menggunakan taksi, orang tuaku tidak bisa mengantarku karena mereka sedang
sibuk. Aku hanya bisa berharap Seyla bisa menemuiku setidaknya untuk
mengucapkan selamat tinggal. Berjalanlah aku selepas sampai ke stasiun kereta.
Aku melangkahkan kaki menuju ke peron dan menunggu kereta di sana. Harapanku
ternyata tidak terwujud, rasa sakit masih menempel di dada. Terus menerus aku
mengepalkan tanganku di dada dan menyeringai. Tetesan air mata perlahan berjalan
melewati pipiku dan mulai berjatuhan.
Tak kuasa aku menahan rasa sakit
ini, seakan aku ingin teriak dan memukul dinding peron ini sampai hancur
berkeping-keping. Seseorang duduk di sebelahku. Aku menghapus air mataku dan
duduk tegap seakan tidak ada yang terjadi apa-apa. Orang itu memegang pundakku
dan berkata padaku.
"Maaf mas, kamu nggak
apa-apa?"
"Nggak papa kok mas, ini
lagi nunggu kereta." Ucapku seraya tersenyum.
"Sedih kenapa?"
"Hah? Sedih?"
"Sudahlah, tadi aku lihat
kok."
"Nggak papa, masalah pribadi.
Nggak baik kalo diomongin."
"Oh.. Ya sudah. Misal itu
tentang keluargamu, sebaiknya kamu bisa merelakannya. Jika tidak bisa maka
batalkan rencanamu untuk pergi."
"Bukan tentang keluarga kok
mas."
"Teman? Pacar?"
"Bisa dibilang begitu."
"Aku tahu..." Ucapannya
membuatku terdiam sejenak, "... Aku tahu yang kamu rasakan."
"Maksudnya?"
"Sakit hati. Jika kamu nggak sakit hati, kamu nggak mungkin akan sesedih itu."
"Yaahh.. Begitulah. Mau
gimana lagi?" Sahutku sambil menundukkan wajahku.
Tak lama kemudian, kereta datang.
“Maaf mas, kereta saya sudah
datang.”
“Haha. Sebenarnya saya juga naik
kereta ini.”
“Ya sudah, saya masuk duluan
mas.”
“Iya, iya.”
Aku berjalan memasuki gerbong
kereta nomor 7. Aku berjalan menuju kursiku, gerbongnya cukup ramai. Aku cukup
lega saat sudah sampai di kursiku, terdiam, dan memikirkan apa yang akan
terjadi selanjutnya padaku. Terus memandangi ke luar jendela kereta, ternyata
mataku tak sanggup fokus ke objek karena cepatnya kereta ini berjalan.
Seandainya saja aku dapat melepaskan semua perasaan ini secepat kereta ini
berjalan, mungkin aku tidak akan merasakan hal-hal seperti ini. Tanpa aku sadari seseorang yang duduk di belakangku
terus menerus memanggilku.
“Mas.”
“Eh, iya ada apa?” tanyaku sambil
menoleh ke arahnya.
“Mau ke Jogja ya mas?”
“Iya nih. Mbak juga ke sana?”
“Iya. Mau kuliah juga mas?”
“Iya nih di UGM.”
“Wah, kebetulan saya juga di
sana.”
“Maksudnya? Mbak mau kuliah di
sana juga?”
“Maksudnya saya kuliah di sana.”
"Oh. Maaf."
"Haha.. Nggak papa. Bentar
lagi sampai."
"Oh. Iya iya."
Aku lekas mengambil
barang-barangku untuk bersiap-siap turun di stasiun Jogjakarta. Keretapun
berhenti, aku berjalan turun sambil membawa barang bawaanku. Selepas turun aku
kembali duduk di kursi peron. Aku duduk sendirian dan tak tahu ingin ke mana
lagi. Secara tiba-tiba seseorang yang aku temui sebelumnya kembali duduk di
sampingku. Dia menawarkan tempat tinggal padaku, awalnya aku menolaknya. Dia
berkata padaku, “Sedikit sulit untuk mencari tempat tinggal di sini.” Aku
menerima tawarannya. Kami berdua beranjak pergi dari stasiun menggunakan taksi.
Sedikit membuatku bingung, aku pun tidak kenal siapa dia sebenarnya. Aku mulai
bertanya padanya.
“Mas, sebelumnya saya minta maaf.
Nama saya Hermansyah.”
“Iya iya. Saya Robert. Kita berangkat
dari tempat yang sama dan menuju tujuan yang sama. Aku pikir, aku bisa
membantumu sedikit dengan menawarkan tempat tinggal padamu. Jika kau menolak,
aku pun nggak akan memaksamu.”
“Mas ini kuliah apa sudah kerja?”
“Kebetulan saya sudah kerja. Saya
dosen di Universitas Gajah Mada.”
“Waduh, saya minta maaf pak.”
“Haha.. sudah sudah. Nggak papa,
lagipula saya juga masih muda. Gak enak kalau dipanggil pak di luar kampus.”
“Yah.. saya sebenarnya mau masuk
ke UGM. Alhamdulillah sudah lolos berkas, tinggal ujian tertulisnya.”
“Wah.. hebat. Bagus, bagus. Semoga
berhasil.”
“Iya mas. Makasih.”
Taksipun berhenti, kami berdua
turun perlahan. Dia membayar semua biaya taksi, saat aku mencoba untuk
mengganti biaya itu, dia menolaknya. Dia menyuruhku mengambil barang-barang di
bagasi mobil. Aku membawa turun barang itu satu per satu. Setelah semua turun,
taksi tersebut meninggalkan kami. Aku satu per satu barang itu ke dalam rumah
kontrakan milik Mas Robert.
“Aduh mas, saya jadi gak enak
nih.”
“Sudah nggak papa. Kamu boleh
tinggal di sini dulu. Jangan memaksakan diri kalau memang kamu belum dapat
tempat tinggal.”
“Makasih mas.”
“Iya iya.” Sahutnya sambil
memerhatikanku. “Mas, masih sakit hati?”
“Sudah lumayan lah mas.”
“Begini. Mungkin hampir semua
orang yang pernah merasakan cinta itu pasti merasakan yang namanya sakit hati.
Memang sakit, kadang sulit untuk menghilangkan rasa sakit itu. Tergantung kitanya
juga sih.. mungkin beberapa orang akan menutup diri setelah mereka merasakan
itu. Yah.. karena mereka nggak mau merasakan itu lagi. Saran dari saya,
sebaiknya jangan seperti yang seperti itu.. biasa saja menghadapinya. Jangan sampai
perasaanmu itu malah membuat karirmu berantakan. Semua yang kita lakukan itu
adalah perjalanan hidup, sejarah dari diri kita. Biarkan perasaan itu pergi. Cari
hal yang menyenangkan agar cepat melupakannya.”
“Waduh.. iya deh mas. Nanti saya
coba.”
“Haha. Andai aku kamu ya. Aku
pasti bilang, ‘Mungkin aku adalah orang yang paling beruntung’ “
“Memang kenapa mas?”
“Begitulah.. lihatlah dirimu
sekarang? Dulu saja, aku susah mencari tempat tinggal di sini. Mana uang juga
terbatas. Buatlah dirimu merasa nyaman di sini.. di Jogjakarta. Optimis, lihat
ke depan, masa depan tepat di depan kita, bukan di belakang kita.”
“Siap-siap. Makasih pak. Insya
Allah saya akan menjadi yang terbaik.”
Terkadang
kita itu merasa sok tahu akan masa depan, seakan semua berjalan dengan
sempurna. Sekarang kita harus berpikir tentang peluang dan takdir. Jika kita tidak
pernah mencoba, kita tidak akan tahu bagaimana akhirnya. Bagaimana bisa tahu
akhirnya kalau kita tidak pernah mengawalinya. Mungkin sakit rasanya jika kita
gagal. Jadikan kegagalan itu menjadi sebuah referensi di ingatan kita, agar
kita tidak kembali terjebak ke kegagalan itu lagi. Takdir.. masing-masing
manusia memiliki takdir, intinya kita harus mengawali sesuatu agar kita juga
tahu akhir dari kisahnya.. kisah takdir kita. -#AditDC
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Salam Pembaca,
Mohon maaf, saya di sibukkan
dengan pekerjaan-pekerjaan. Saya sedang magang di industri. Saya juga sempatkan
menulis sebuah kisah-kisah yang akan saya kenang dan bisa anda baca di #AditDC
. Saya akan berusaha semaksimal mungkin menulis kembali cerpen di blog ini. Sekali
lagi saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Salam Penulis,
Aditya Dwi Cahyo.
Aditya Dwi Cahyo.
ID Line: nadhia0904
http://aditya2004.blogspot.co.id/2016/05/andai-aku-kamu-ada-mentari-di-balik.html
BalasHapus